MAKALAH Observasi
tentang doktrin ormas islam
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sejak 1980-an, perkembangan Islam di
Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat islam.
Fenomena yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism)
ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya
pengajian, merebaknya busana yang islami, serta munculnya partai-partai yang
memakai platform islam. Fenomena mutakhir yang mengisyaratkan menguatnya
kecenderungan ini adalah tuntutan formalisasi Syariat Islam.
Selain fenomena diatas, setelah
Reformasi, kebangkitan islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan
islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan islam yang lama,
seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan
sebagainya. Gerakan mereka berada diluar kerangka mainstream proses politik,
maupun wacana dalam gerakan islam dominan. Fenomena munculnya aktor baru ini
sering disebut “Gerakan Islam Baru” (New Islamic Movement).
Organisasi-organisasi baru ini
memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan
ormas-ormas islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan,
memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan
eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam,
tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara islam”
(daulah islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat islam, baik dalam wilayah
masyarakat, maupun negara.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1.
Apakah ORMAS itu ?
2.
Apa saja contoh Ormas di Indonesia ?
3.
Bagaimana sejarah dan ajaran-ajaran didalamnya ?
1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini meliputi beberapa aspek berikut :
1.
Untuk mengetahui apa Organisasi Masyarakat Islam (Ormas) itu
2.
Untuk mengetahui contoh-contoh Ormas di Indonesia
3.
Untuk mengetahui sejarah dan metode ajaran dalam Ormas di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Organisasi Islam (ORMAS)
Organisasi massa atau disingkat ormas adalah suatu istilah yang
digunakan di Indonesia untuk bentuk organisasi berbasis massa yang tidak
bertujuan politis. Bentuk organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah
partai politik. Ormas dapat dibentuk berdasarkan beberapa kesamaan atau tujuan,
misalnya: agama, pendidikan, sosial. Maka ormas Islam dapat kita artikan
sebagai organisasi berbasis massa yang disatukan oleh tujuan untuk
memperjuangkan tegaknya agama Islam sesuai al-qur’an dan as-sunnah serta
memajukan umat Islam dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial, dan
budaya (Sumber: www.blog.umy.ac.id)
2.2 KELAHIRAN NAHDLATUL ULAMA’ ( NU )
Nahdlatul Ulama’ disingkat NU, artinya kebangkitan Ulama. Sebuah
organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal : 16 Rajab 1344 H / 31
Januari 1926 M. di Surabaya.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para Ulama’
dan pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan
dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan
menganut salah satu dari madzhab empat masing-masing adalah :
1. Imam Abu Hanifah
an-Nu’man
2. Imam Malik bin Anas
3. Imam Muhammad Idris
As-Syafi’i dan
4. Imam Ahmad bin
Hanbal.
Nahdlatul Ulama’ ( NU ) adalah
merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan
mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Alloh Swt, cerdas,
trampil, ber-akhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan
cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh
dasar-dasar faham keagamaan, yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama.
Ada tiga orang tokoh ulama yang
memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama
(NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari
(Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU
Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan
peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim
sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.
Tentu selain dari ketiga tokoh ulama
tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting.
Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah
meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab
oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai
Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat
lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan
peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam
proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan
itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan
ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal
jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang
nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai
Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak
hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan
masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan
jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai
Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti
“potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para
kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam
terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta
forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab
merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh
ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.
Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab
itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh
Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita
(mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin
Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam
keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian
memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal
sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah.
Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad.
“Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.“Setelah memberikan
tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil
kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di
tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku
bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku
ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia,
wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor
ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan
takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah
tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat,
sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian
dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang,
Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk
ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan,
As’ad segera berangkat ke Jombang
untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim
dipegangnya erat-erat. Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan
kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di
sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu
teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera
ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim.
Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu
dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya
diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata
As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu
dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh
wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk
matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim.
“ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut
dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa
Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya
untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah
terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil,
Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia
masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi
Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi,
gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar
kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.
Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai
Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera
berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab
segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai
Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan
seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai
Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan
pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri
itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai
uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawie.
Proses dari sejak Kiai Cholil
menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah
rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai
Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang
diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil,
maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung
dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi
ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul
lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil
Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,”
kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan
bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di
balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin
saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai
Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan
jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat
mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak
menggagalkannya.
Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma
Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya
pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih
memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha
Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun).
Dikalangan pesantren, dua Asma Allah
ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan
kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan
amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski
demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925
M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada
16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama
Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat
mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan
Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan
mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya,
Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah
dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi
di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan
membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri.
“Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat
gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat
petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU
secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan
gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk
mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat
gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih
kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.
2.3 KELAHIRAN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah merupakan gerakan umat
Islam yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Djulhijah 1330 H, atau tanggal 18
Nopember 1912 M. Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama
nabi terakhir, kemudian mendapatkan ‘ya nisbiyah’ yang artinya menjeniskan.
Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikutnya Muhammad. Tujuan :
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat
Islam yang sebenarnya.
Berdasarkan situs resmi
Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman
Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan
untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang
dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga
memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah
dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan
selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal
dengan Madrasah Mu’allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patang puluhan
kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di
Suronatan Yogyakarta).
Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan
(1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti:
Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang.
Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke
Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.
Dalam tempo yang relatif singkat, arus
gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari
daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan
Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam,
dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasa Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan
Hadist. Gerakan Muhammadiyah bermaksud untuk berta’faul (berpengharapan baik)
dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad SAW, dalam rangka
menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul
Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup sebagai
realita.
Faktor utama yang mendorong
berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al
Qur’an dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Dalam
surat Ali Imran ayat 104 dikatakan bahwa: “ Dan hendaklah ada diantara kamu
sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Memahami seruan diatas, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun
sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang
tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
di tengah masyarakat.
A.
Visi dan Misi Muhammadiyah
1.
Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya
senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi
munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin
menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2.
Misi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar
memiliki misi :
1.
Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah
SWT yang dibawa oleh para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
2.
Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa
ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
3.
Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai
kitab Allah terakhir dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4.
Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga
dan masyarakat.
B.
Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Muhammadiyah
1.
Faktor obyektif yang bersifat Internal
a)
Kelemahan dan praktek ajaran Islam.
Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua
bentuk :
1.
Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam
tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat terhadap khasanah
intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan
pembaharuan-pembaharuan dalam bidang agama.
Paham dan praktek agama seperti ini
mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang
banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan adaptasi
itu termanifestasikan dalam bentuk-bentuk sikap penolakan terhadap perubahan
dan kemudian berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah menjadi
pengalaman hidup selama ini.
a)
Sinkretisme
Pertemuan Islam dengan budaya lokal
disamping telah memperkaya khasanah budaya Islam, pada sisi lainnya telah
melahirkan format-format sinkretik, percampuradukkan antara sistem kepercayaan
asli masyarakat-budaya setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya
ini tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan ketika
percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam
tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku sebagai
muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis tidak
berubah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut
pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa.
Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-sama dalam sistem
kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
b)
Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan tradisional
Islam, Pesantren, merupakan sistem pendidikan Islam yang khas Indonesia.
Transformasi nilai-nilai keIslaman ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara
institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat kelemahan
dalam sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan
kader-kader umat Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman.
Salah satu kelemahan itu terletak
pada materi pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa
Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan ilmu falak. Pesanteren tidak
mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia,
fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru sangat diperlukan bagi umat
Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam rangka menunaikan tugas
sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan lembaga pendidikan yang
mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang dan
sebab kenapa KH.Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani
kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan
ilmu duniawi.
2.
Faktor Objektif yang Bersifat Eksternal
a.
Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat
eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah
kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk
mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen.
Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di
Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda.
Bahkan kegiatan-kegiatan
kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda.
Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad
Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
b.
Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa
pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini,
baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek
politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan
perlawanan.
Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan
dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan
penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas
sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
c.
Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia
pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul
Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya.
Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani
yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH. Ahmad Dahlan.
Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat
mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan
ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.
Dengan melihat seluruh latar
belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan telah
melakukan lompatan besar dalam beritijtihad. Prinsip-prinsip dasar perjuangan
Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada al-Quran dan Sunnah, namun implementasi
dalam operasionalisasinya yang memeiliki karakter dinamis dan terus
berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak memungut dari
berbagai pengalaman sejarah secara terbuka (misalnya sistem kerja organisasi
yang banyak diilhami dari yayasan-yayasan Katolik dan Protestan yang banyak
muncul di Yogyakarta waktu itu.
C.
Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Dari Masa ke Masa
1.
KH. Ahmad Dahlan 1912 - 1923
2.
KH. Ibrahim 1923 - 1932
3.
KH. Hisyam 1932 – 1936
4.
KH. Mas Mansur 1936 1942
5.
Ki Bagoes Hadikoesoemo 1942 1953
6.
Buya AR Sutan Mansur 1953 1959
7.
KH. M Yunus Anis 1959 1962
8.
KH. Ahmad Badawi 1962 1968
9.
KH. Faqih Usman 1968 1971
10.
KH. AR. Fachruddin 1971 1990
11.
KH. A. Azhar Basyir 1990 1995
12.
Prof. Dr. H. Amien Rais 1995 2000
13.
Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif 2000 2005
14.
Prof. Dr. H. Din Syamsuddin 2005 Sampai Sekarang dan habis masa jabatannya
tahun 2015
2.4 KELAHIRAN PERSIS (Persatuan islam)
Persatuan Islam (disingkat Persis)
adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September
1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan
aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Persis didirikan dengan tujuan untuk
memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh
Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam
tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya
lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam
lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih.
Oleh karena itu, lewat para ulamanya
seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil,
Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits.
Organisasi Persatuan Islam telah tersebar di banyak provinsi antara lain Jawa
Barat, DKI Jakarta, Riau, dan Gorontalo.
Persis bukan organisasi keagamaan
yang berorientasi politik namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan
Dakwah dan berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri
khurafat, syirik, dan bid'ah yang telah banyak menyebar di kalangan awwam orang
Islam.
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam
(Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah
memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam.
Persis lahir sebagai jawaban atas
tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan
berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh
suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih
dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha
memadamkan cahaya Islam.
Situasi demikian kemudian mengilhami
munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui
kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk
melakukan pembaharuan Islam.
logo-persisLahirnya Persis Diawali
dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan) agama Islam di kota
Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan
kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam,
menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi
baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923,
bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi
mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini
diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan
kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan
rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini
didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang
teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang / aturan) Allah seluruhnya
dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang
diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis
ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai
macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum,
tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah
(pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai
aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam
secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah,
Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai
dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren
Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul
Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan
berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam
(1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa
(1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah
Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang
diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan
rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di
daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari
cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat
luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama
(1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad
Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa
penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam
menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang
(1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota
Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala
Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai
melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah
dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941,
kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH.
Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman,
Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis
dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik
Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang
dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan
masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode
kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh
K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal
dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran
keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah,
Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman
dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien
(1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada
eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini
terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul
dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy pada masa ini
Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam
menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang
menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan
kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah
dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang
dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan
pengkajian pemikiran keislaman.
2.5 KELAHIRAN AL - IRSYAD
Al-Irsyad Al-Islamiyyah adalah
organisasi Islam nasional. Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah mempunyai sifat
khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah
bertingkat nasional.
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah
(Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15
Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad
Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru
dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad
adalah Al-'Alamah Syeikh Ahmad Bin Muhammad Assoorkaty Al-Anshary, seorang
ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang
ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami'at Khair -yang mayoritas anggota
pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid,
dan berdiri pada 1905.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai
sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan
dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).
Perhimpunan ini adalah perhimpunan
mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik
apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (AD, ps. 1
ayat 3).
Syekh Ahmad Surkati tiba di
Indonesia bersama dua kawannya: Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh
Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani.
Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad
menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh
Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami'at
Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan
bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun
Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami'at Kheir, karena
perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami'at Kheir, yang
umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jami'at Kheir tergolong
organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan
keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik.
Ini nampak setelah para pemuka
Jami'at Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad Surkati tentang
kafaah (persamaan derajat). Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan
mundur dari Jami'at Kheir, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan
dihari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi
mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk
menaunginya: Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah dan mendapat pengakuan
hukum dari Gouvernuer-General Hindia Nederland No 47 pada 11 Agustus 1915. (kemudian berganti nama
Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).
disingkat Al-Irsyad Al-Islamiyyah
atau Al-Irsyad yang kini Pimpinan Pusatnya diketuai oleh K.H. Abdullah Djaidi
(Periode 2012-2017 dipilih dalam Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang ke 39 di
Jakarta pada 28 - 30 Rajab 1433 H / 18 - 20 Juni 2012 M di Kantor Pimpinan
Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jalan Kalibata Utara II Nomor 84 Jakarta
Selatan.
2.6
DOKTRIN - DOKTRIN ORMAS
Doktrin NU
a.
Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran atas Allah,
rasul, dan segala ajaran yang dibawakannya. Doktrin keimanan Ahlussunnah waljamaah ini termanifestasikan dalam formula
yang diajarkan Al’asyari dan Maturidi. Kedua tokoh tersebut hampir sepakat dalam masalah akidah
islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para
rasul dan malaikat-Nya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses
penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak
berakibat fatal, yaitu dalam masalah istitsna, takwin, dan iman dengan
taqlid[1].
Tingkatan tauhid dalam
Ahlussunnah waljamaah terbagi menjadi 4
tingkatan, yakni iman bittaqlid, iman biddalil, iman bil iyyan dan iman bil
haqq. Pertama, iman bittaqlid adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa
mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih
diperselisihkan. Kedua, iman biddalil (ilmul yaqin) ialah keyakinan terhadap
aqa'id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini
masih terhalang (بﻮﺠﺤﻣ) dalam mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyan (ainul yaqin)
ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam
kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.
Keempat, iman bil haqq (haqqul
yaqin) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam
dalam fana' billah. Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan
menghasilkan iman biddalil (ilmul yaqin), dan jika keimanan ini senantiasa
disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil
iyyan (ainul yaqin) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul
yaqin).
Dalam menanggapi perbuatan manusia,
Ahlussunnah waljamaah berada di antara
jabariyah dan qodariyah. Ahlussunnah
waljamaah meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar)
namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb (upaya). Dalam keyakinan Ahlussunnah waljamaah, secara dhahir manusia adalah
'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah ajbûr (tidak
memiliki qudrah apapun).
Adapun mengenai perbuatan dosa,
Ahlussunnah waljamaah sangat hati-hati
dalam memvonis seseorang yang berdosa, tidak terjebak oleh ekstrimisme khawarij
atau pun Murji’ah. Jika seseorang melakukan maksiat sementara hatiya masih
memegang teguh syahadatain, ia hanya berdosa dan sesat, tidak sampai divonis
kafir. Kekafiran hanya terjadi jika seseorang menafikan wujud Allah, Muhammad
sebagai rasul Allah, dan menyangkal ketetapan syariat yang telah ditetapkan
secara umum.
b.
Doktrin Ke-Islaman
Doktrin keislaman yang
termanifestasikan ke dalam hukum fiqih yang meliputi hukum legal formal dengan
syariat secara umum memiliki perbedaan. Menurut Sahal Mahfudh, fiqih diartikan
sebagai usaha manusiawi, yang melibatkan proses penalaran, baik pada tataran
teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasi
hukum-hukum agama.
Adapun syariat dipahami secara longgar untuk
merujuk agama Islam atau hukum Tuhan sebagaimana dikandung dalam korpus-korpus
wahyu tanfa melibatkan tangan-tangan manusia.[2] Pernyataan tersebut memiliki
kesamaan makna dengan pernyataan Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa syariat
merupakan peraturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad untuk manusia
yang mencakup ketauhidan, perbuatan, dan akhlak.[3]
Fiqih sebagai hasil istinbatul hukm
(penggalian hukum), maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian
produk-produk fiqih, yakni ushul fiqih (legal theory) dan qawaidul fiqhiyah
(legal maxims). Ushul fiqih sebagai metodologi dan prinsip dalam memahami
kandungan nash sehingga membentuk aturan-aturan hukum praktis. Adapun
kaidah-kaidah fiqih dipahami sebagai pedoman dalam pengambilan hukum secara
praktis. Baik ushul fiqih maupun kaidah fiqih, keduanya turut menentukan akhir
keputusan hukum dengan menginvestigasi latar belakang hukum tersebut.
Kaitannya dengan ijtihad manusia
dalam memahami wahyu Tuhan yang termanifesasikan ke dalam fiqih,
Ahlussunnah waljamaaah menganut kepada
salah satu dari madzhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali. Pada dasarnya, eksistensi madzab-madzhab fiqih
tidak secara otomatis mengikuti polarisasi umat Islam di bidang akidah. Dalam
hal ini, maka tidak tepat jika disebutkan bahwa para pengikut madzhab empat
tersebut adalah sunni, atau sebaliknya kaum sunni adalah pengikut madzhab empat
adalah sunni.
Pada kenyatannya, para teolog baik
dari kalangan Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah maupun Salafiyun tersebar
dalam berbagai madzhab fiqih. Dalam hal ini, hanya Syi’ah selaku madzhab
teologi mempunyai madzhab fiqih tersendiri yang berasal dari imam mereka, yakni
Ja’far Asyadiq. Dengan demikian, dalam
madzhab fiqih sebenarnya hanya terjadi
dua kutub, yakni Syi’ah dan non Syi’ah.[4]
Alasan mendasar Ahlussunnah waljamaah melakukan pemilihan kepada empat madzhab di atas yang dijadikan rujukan
dalam berfiqih. Di samping otenstisitas konsep-konsep yang tersusun secara rapi
dan sistematis, metodologi dan epistimologi madzhab ini relatif tawazun
(berimbang) dalam mensinergikan dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql
(teks-teks keagamaan). Keempat madzab tersebut dinilai paling tawasuth
(moderat) dibanding madzab Dahiri yang cenderung tektualis dan Muktazilah yang cenderung rasionalis[5].
Dengan prinsip tersebut,
Ahlussunnah mengakui bahwa empat madhab
yang memadukan dalil antara Al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas diakui mengandung
kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Artinya,
kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Ahlussunnah waljamaah hanya bersifat kemungkinan dan
bukan kemutlakan.
c.
Doktrin Ihsan
Ihsan, sebagaimana yang Nabi
Muhammad sampaikan ialah Ihsan adalah seseorang
menyembah Allah seolah ia melihatNya, dan jika ia tidak melihatNya,
sesungguhnya Dia melihat orang tersebut. Konsep ihsan ini termanifestasikan
dalam tasawuf, yakni jalan spiritual yang dilakukan bukan melalui teori-teori
ilmiah melainkan pengintegrasian antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan
(takhalli) kenistaan (akhlaq mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia,
sehingga Allah terasa hadir (tajalli) dalam setiap gerak-gerik manusia[6].
Ahlussunnah waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini
kepada tasawuf akhlaki dan amali, juga berada mengambil jalan tengan antara
tasawuf batiniyah dan tasawuf falsafi. Tasawuf batiniyah memberikan perhatian
berlebihan kepada aspek batiniah sehingga menegasikan tuntutan kemanusiaan yang
berporos pada penalaran rasio. Adapun tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah
memasuki wilayah ontologi yang sangat dipengaruhi masalah rasio sehingga aspek
yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi, ittihad, dan wihdatul wujud[7].
[1] Istitsna adalah mengatakan keimanan dengan Insya Allah.
Maturidi tidak memperbolehkan karena hal tersebut adalah bentuk keraguan dalam
beriman, akan tetapi Asyari membolehkan karena maksud istitsna tersebut bukan
keimanan yang ragu, melainkan ragu pada akhir hayat berada dala keadaan beriman
atau tidak. Takwin (mewujudkan) sifat yang tidak berbeda dengan sifat Qudroh,
sedangkan menurut Maturidi berbeda. Iman dengan taqlid (ikut-ikutan tanfa
mengetahui dalil) menurut Maturidi dianggap sah dan masuk surge, sedangkan
Asyari mengatakan tidak cukup keimanan hanya dengan taqlid.
Doktrin Teologi Muhammadiyah
Sebagai organisasi, jam’iyyah,
persyarikatan dan harakah (gerakan), menurut Dr.H.M. Amien Rais,M.A,
muhammadiyah memegang teguh lima doktrin yang sampai sekarang tetap hidup
dikalangan warga Muhammadiyah.
a.
Tauhid
Bendera Muhammadiyah menunjukkan
dengan jelas betapa seluruh gerakan dan kehidupan Muhammadiyah harus
berdasarkan tauhid. Kalimah Tayyibah atau kalimah Tauhid, yaitu La ilaa ha illa
Allah dan Muhammaddarrasulullah yang tercantum dalam bendera Muhammadiyah itu
menjadi sumber kehidupan Muhammadiyah. Tauhid mengajarkan agar manusia
berpegang teguh pada keesaan Allah sebagai tali yang kokoh.
ومن يسلم وجهه الى الله وهو محسن فقداستمسك بالعروة
الوسقى والى الله عقبة الأمور
“Dan
barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang
berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh.
Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan dalam urusan.” (Q.S Luqman:22)
b.
Pencerahan Umat
Doktrin Muhammadiyah selanjutnya
adalah mencerahkan dan umat mencerdaskan umat islam dan bangsa Indonesia. Para
tokoh Muhammadiyah pendahulu tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat islam
Indonesia bahwa ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari dari kaum
muslimin yang harus direbut kembali. Dalam mencerdaskan dan mencerahkan umat
islam, Muhammadiyah menempuh tiga proses pendiddikan sekaligus, yakni ta’lim,
tarbiyah dan ta’dib.
c.
Amal Shalih
Doktrin “iman tanpa amal shalih”
bagaikan “pohon tanpa buah” sangat dipegang kokoh oleh seluruh warga
Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah lahir, umat islam sudah terbiasa
menggerakkan amal shalih dalam berbagai bidang kehidupan. Sampai sekarang
semangat beramal shalih tetap kuat menghunjam dalam sikap hidup kalangan warga
Muhammadiyah.
d.
Kerjasama untuk kebajikan
وتعاونواعلى البر والتقوى ولاتعاونوعلى الاسم والعدوان
“Dan
bekerjasamalah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
bekerjasama dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Q.S. Al Maa’idah:2)
Ayat tersebut dijadikan doktrin
perjuangan Muhammadiyah. Sebagai organisasi dakwah yang berusaha mengajak
seluruh lapisan masyarakat untuk menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran,
Muhammadiyah mengimbau para mubaligh dan mubalighat-nya untuk selalu dapat
bekerjasama dengan semua pihak demi tercapainya tujuan baik bersama.
e.
Tidak Berpolitik
Dalam mencapai cita-cita
perjuangannya untuk membangun masyarakat utama yang diridhai Allah SWT,
Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Masalahnya, Muhammadiyah membangun
masyarakat, Muhammadiyah tidak ingin mengambil jalan pintas politik dengan
membangun kekuasaan dan berambisi ikut merebut kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan
politik yang ada.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah
pernah ditawari pemerintah untuk berubah bentuk dan jati diri menjadi partai
politik. Akan tetapi tawaran itu dengan bijak danpenuh pertimbangan tidak
diterima oleh para pemimpin Muhammadiyah. Sebab jelasnya, partai politik mudah
bubar atau dibubarkan, dapat lebar dalam sebuah fusi, rawan perpecahan dan juga
seringkali dapat mati perlahan-lahan.[1]
Doktrin persis (persatuan islam)
Belum dikatakan Persis kalau belum
tahu doktrin Islam dalam kewajiban
berjamiyyah, lalu mengapa kita harus dapat bersama sama dalam menggapai
ridho Alloh? Tidak hanya bersama sama tapi harus berbaris dalam satu shaf yang
mempunyai pemimpin, aturan, tujuan dan yang terpenting adalah kesetiaan
(ketaatan). Jadi inti Islam adalah
ketaatan.
Yang menjadi acuan adalah atsar
sahabat (ucapan sahabat) Umar Bin Khattab yang mengatakan bahwa tidak ada Islam
tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa imaroh (kepemimpinan), dan tidak ada
kepemimpinan tanpa ketaatan.
Yang terpenting adalah kita harus
hafal dan memahami surat Ali Imron ayat 104 yang berbunyi:
ولْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung”
Ada beberapa poin yang sangat
penting bagi mereka yang mengaku muslim ditinjau dari ayat di atas yaitu:
1.
Kita harus menjadi umat: sekumpulan orang orang yang disatukan
hatinya dalam satu ikatan sebuah persatuan seperti anggota badan dalam satu
tubuh.
2.
Menyeru pada kebaikan, yang bertarti tugas dakwah adalah tudas
semua umat Islam.
3.
Mencegah kemungkaran.
Ada tiga kategori yang harus selalu
terpancang pada pribadi muslim, jika hilang salah satunya maka dia
dipertanyakan keislamannya.
Jika ada ungkapan “Lah nu penting mah Islam, tidak
usah pakai organisasi organisasi malah bikin pusing” Bagaimana tidak berkata
demikian jika dianya belum merasakan indahnya berorganisasi. Jika kita merasa
bahwa kita dapat berislam (beribadah )sendirian
itu keliru, karena ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan sendiri, misalnya saja kurban, gotong royong,
menggalang dana dan lain sebagainya.
Sangat logis sekali jika berjamaan
diidentikkann dengan satu tubuh karena kita dapat sempurna jika seluruh anggota
tubuh dapat bekerja sama dengan kompak,
maka sempurna pula ketika kita dapat hidup berjamaah dan memfungsikan
diri di dalamnya sebagai apapun dalam rangka memberikan kontribusi yang berguna
bagi keberlangusan jamiyyah.
Doktrin al - irsyad
Al-Irsyad sebetulnya terinspirasi
dan diwarnai oleh Pemikiran Syekh Rashid Ridha yang mendirikan Jam'iyat dan
Da'wah wa Al-Irsyad di Mesir. Tujuan Utama dari gerakan ini adalah menghasung
kaum muslimin mengabdikan dirinya dalam mendidik umat dan memberikan yang
terbaik untuk islam.
Gerakan ini pada awalnya berdiri di
jakarta pada 6 September 1914,k dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Tapi
dalam waktu singkat terus berkembang dengan pesat ke beberapa kota lain di
pulau jawa. Setidaknya dalam gerakan awalnya, ada lima prinsip yang dengan
setia selalu dijaga oleh Al-Irsyad.
1.
Meneguhkan Doktrin persatuan kaum Muslim dan membersihkan ibadah
dari unsur - unsur bid'ah
2.
mewujudkan kesetaraan derajat diantara Muslim dalam menggali Al
Quran dan Sunnah.
3.
Memerangi taqlid yang merebak.
4.
Menyiarkan Ilmu dan ajaran islam
5.
Membangun Pemahaman antara Muslim Indonesia dan Keturunan Arab di
Ind onesia
Konsentrasi awal gerakan ini untuk
mensukseskan programnya adalah membangun dan mendirikan lembaga - lembaga
pendidikan dan Tarbiyah. Bisa di bilang Al-Irsyad adalah salah satu gerakan
Islam yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa di awal-awal kemerdekaan dengan
program dan perannya. Agenda-agenda reformasi yang diusungnya tanpa ragu lagi
telah memberikan peran tersendiri dalam perjuangannya di Indonesia. Bahkan,
sebagian besar tokoh besar Muhammadiyah kala itu adalah kader-kader yang juga
dibina dalam lembaga pendidikan Al-Irsyad.
Gerakan ini dalam perkembangannya
mengkonsentrasikan diri dalam perbaikan kondisi religius kqaum muslim, dari
kalangan Arab khususnya dengan cara mendirikan madrasah, rumah piatu, panti
asuhan dan juga rumah sakit. Tak ketinggalan menyebarkan ide reformasi lewat
tulisan dan penerbitan pun dilakukan oleh gerakan lewat berbagai even dan aksi,
mulai dari publikasi, kelompok studi sampai aksi.
Pada tahun awal berdirinya,
Al-Irsyad sudah memiliki madrasah Awaliyah dengan jenjang pendidikan selama
tiga tahun. Ada juga Madrasah Ibtidaiyah dengan jenjang empat tahun, Madrasah
Tajhiziah berjenjang dua tahun dan Madrasah Mu'alimin yang di khususkan untuk
para Guru. Singkat kata, peran Al-Irsyad Al-Islamiyah dalam membangun umat dan
membangun bangsa tak bisa diragukan lagi.
Tapi sungguh sayang, organisasi
dengan peran panjang dan besar itu kini tengah digoyang badai, Perbedaan
pendapat yang kian meruncing terjadi di dalam tubuh gerakan pelopor kebangkitan
ini. Perbedaan tersebut terus berlanjut hingga ke meja hijau. Sebuah peristiwa
yang mengatakan, sejarah besar tak lagi mampu menyatukan hati. Semoga ikatan
hati (mukmin) kembali menyatukan organisasi ini.
BAB III
KESIMPULAN
The purpose of religion is to
control yourelf, not to criticise others. “ tujuan agama adalah untuk
mengkontrol diri sendiri, bukan untuk mengkritik orang lain ,khususnya dalam
konteks hubungan manusia dengan tuhannya.
hakikatnya orang beragama mencari yang dekat dengan
benarnya bukan benar 100% , Perbedaan itu akan menjadikan rahmat jika mampu
menyadari sepenuh hati bahwa hidup akan lebih nyaman dan tentram manakala
setiap manusia menerima dan menghormati perbedaan.
DAFTAR PUSTAKA
http://my-dock.blogspot.com/#ixzz4Nh3wp3Zv
No comments:
Post a Comment