Saturday, 14 January 2017


MAKALAH Observasi tentang doktrin ormas islam

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang  
Sejak 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami, serta munculnya partai-partai yang memakai platform islam. Fenomena mutakhir yang mengisyaratkan menguatnya kecenderungan ini adalah tuntutan formalisasi Syariat Islam.
Selain fenomena diatas, setelah Reformasi, kebangkitan islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Gerakan mereka berada diluar kerangka mainstream proses politik, maupun wacana dalam gerakan islam dominan. Fenomena munculnya aktor baru ini sering disebut “Gerakan Islam Baru” (New Islamic Movement).
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.




1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini masalah yang akan dikaji adalah sebagai berikut:
1.      Apakah ORMAS itu ?
2.      Apa saja contoh Ormas di Indonesia ?
3.      Bagaimana sejarah dan ajaran-ajaran didalamnya ?
1.3  Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini meliputi beberapa aspek berikut :
1.      Untuk mengetahui apa Organisasi Masyarakat Islam (Ormas) itu
2.      Untuk mengetahui contoh-contoh Ormas di Indonesia
3.      Untuk mengetahui sejarah dan metode ajaran dalam Ormas di Indonesia
                                                                                               
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Organisasi Islam (ORMAS)
Organisasi massa atau disingkat ormas adalah suatu istilah yang digunakan di Indonesia untuk bentuk organisasi berbasis massa yang tidak bertujuan politis. Bentuk organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah partai politik. Ormas dapat dibentuk berdasarkan beberapa kesamaan atau tujuan, misalnya: agama, pendidikan, sosial. Maka ormas Islam dapat kita artikan sebagai organisasi berbasis massa yang disatukan oleh tujuan untuk memperjuangkan tegaknya agama Islam sesuai al-qur’an dan as-sunnah serta memajukan umat Islam dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya (Sumber: www.blog.umy.ac.id)



2.2 KELAHIRAN NAHDLATUL ULAMA’ ( NU )
Nahdlatul Ulama’ disingkat NU, artinya kebangkitan Ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada tanggal : 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M. di Surabaya.
Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para Ulama’ dan pengikut-pengikutnya, dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan menganut salah satu dari madzhab empat masing-masing adalah :
1.         Imam Abu Hanifah an-Nu’man
2.         Imam Malik bin Anas
3.         Imam Muhammad Idris As-Syafi’i dan
4.         Imam Ahmad bin Hanbal.
Nahdlatul Ulama’ ( NU ) adalah merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Alloh Swt, cerdas, trampil, ber-akhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan, yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama.
Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang) dan Kiai Cholil (Bangkalan). Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya.


Tentu selain dari ketiga tokoh ulama tersebut , masih ada beberapa tokoh lainnya yang turut memainkan peran penting. Sebut saja KH. Nawawie Noerhasan dari Pondok Pesantren Sidogiri. Setelah meminta restu kepada Kiai Hasyim seputar rencana pendirian Jamiyyah. Kiai Wahab oleh Kiai Hasyim diminta untuk menemui Kiai Nawawie. Atas petunjuk dari Kiai Hasyim pula, Kiai Ridhwan-yang diberi tugas oleh Kiai Hasyim untuk membuat lambang NU- juga menemui Kiai Nawawie. Tulisan ini mencoba mendiskripsikan peran Kiai Wahab, Kiai Hasyim, Kiai Cholil dan tokoh-tokoh ulama lainnya dalam proses berdirinya NU.
Keresahan Kiai Hasyim
Bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasehatnya sehubungan dengan ide untuk mendirikan jamiyyah / organisasi bagi para ulama ahlussunnah wal jamaah. Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin untuk mengambil keputusan sendiri. Sebelum melangkah, banyak hal yang harus dipertimbangkan, juga masih perlu untuk meminta pendapat dan masukan dari kiai-kiai sepuh lainnya.
Pada awalnya, ide pembentukan jamiyyah itu muncul dari forum diskusi Tashwirul Afkar yang didirikan oleh Kiai Wahab pada tahun 1924 di Surabaya. Forum diskusi Tashwirul Afkar yang berarti “potret pemikiran” ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam terkait dalam bidang praktik keagamaan, pendidikan dan politik. Setelah peserta forum diskusi Tashwirul Afkar sepakat untuk membentuk jamiyyah, maka Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yag sangat berpengaruh di Jawa Timur.



Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Gelagat inilah yang nampaknya “dibaca” oleh Kiai Cholil Bangkalan yang terkenal sebagai seorang ulama yang waskita (mukasyafah). Dari jauh ia mengamati dinamika dan suasana yang melanda batin Kiai Hasyim. Sebagai seorang guru, ia tidak ingin muridnya itu larut dalam keresahan hati yang berkepanjangan. Karena itulah, Kiai Cholil kemudian memanggil salah seorang santrinya, As’ad Syamsul Arifin (kemudian hari terkenal sebagai KH. As’ad Syamsul Arifin, Situbondo) yang masih terhitung cucunya sendiri.
Tongkat “Musa”
“Saat ini Kiai Hasyim sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,” titah Kiai Cholil kepada As’ad. “Baik, Kiai,” jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.“Setelah memberikan tongkat, bacakanlah ayat-ayat berikut kepada Kiai Hasyim,” kata Kiai Cholil kepada As’ad seraya membacakan surat Thaha ayat 17-23
Allah berfirman: ”Apakah itu yang di tangan kananmu, hai musa? Berkatalah Musa : ‘ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya’.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, wahai Musa!” Lalu dilemparkannya tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat”, Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaan semula, dan kepitkanlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih cemerlang tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain (pula), untuk Kami perlihatkan kepadamu sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang besar.”
Sebagai bekal perjalanan ke Jombang, Kiai Cholil memberikan dua keping uang logam kepada As’ad yang cukup untuk ongkos ke Jombang. Setelah berpamitan,


As’ad segera berangkat ke Jombang untuk menemui Kiai Hasyim. Tongkat dari Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim dipegangnya erat-erat. Meski sudah dibekali uang, namun As’ad memilih berjalan kaki ke Jombang. Dua keeping uang logam pemberian Kiai Cholil itu ia simpan di sakunya sebagai kenagn-kenangan. Baginya, uang pemberian Kiai Cholil itu teramat berharga untuk dibelanjakan.
Sesampainya di Jombang, As’ad segera ke kediaman Kiai Hasyim. Kedatangan As’ad disambut ramah oleh Kiai Hasyim. Terlebih, As’ad merupakan utusan khusus gurunya, Kiai Cholil. Setelah bertemu dengan Kiai Hasyim, As’ad segera menyampaikan maksud kedatangannya, “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini,” kata As’ad seraya menyerahkan tongkat.
Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan. Terbayang wajah gurunya yang arif, bijak dan penuh wibawa. Kesan-kesan indah selama menjadi santri juga terbayang dipelupuk matanya. “Apa masih ada pesan lainnya dari Kiai Cholil?” Tanya Kiai Hasyim. “ada, Kiai!” jawab As’ad. Kemudian As’ad membacakan surat Thaha ayat 17-23.
Setelah mendengar ayat tersebut dibacakan dan merenungkan kandungannya, Kiai Hasyim menangkap isyarat bahwa Kiai Cholil tak keberatan apabila ia dan Kiai Wahab beserta para kiai lainnya untuk mendirikan Jamiyyah. Sejak saat itu proses untuk mendirikan jamiyyah terus dimatangkan. Meski merasa sudah mendapat lampu hijau dari Kiai Cholil, Kiai Hasyim tak serta merta mewujudkan niatnya untuk mendirikan jamiyyah. Ia masih perlu bermusyawarah dengan para kiai lainnya, terutama dengan Kiai Nawawi Noerhasan yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri. Terlebih lagi, gurunya (Kiai Cholil Bangkalan) dahulunya pernah mengaji kitab-kitab besar kepada Kiai Noerhasan bin Noerchotim, ayahanda Kiai Nawawi Noerhasan.


Untuk itu, Kiai Hasyim meminta Kiai Wahab untuk menemui Kiai Nawawie. Setelah mendapat tugas itu, Kiai Wahab segera berangkat ke Sidogiri untuk menemui Kiai Nawawie. Setibanya di sana, Kiai Wahab segeraa menuju kediaman Kiai Nawawie. Ketika bertemu dengan Kiai Nawawie, Kiai Wahab langsung menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah mendengarkan dengan seksama penuturan Kiai Wahab yang menyampaikan rencana pendirian jamiyyah, Kiai Nawawie tidak serta merta pula langsung mendukungnya, melainkan memberikan pesan untuk berhati-hati. Kiai Nawawie berpesan agar jamiyyah yang akan berdiri itu supaya berhati-hati dalam masalah uang. “Saya setuju, asalkan tidak pakai uang. Kalau butuh uang, para anggotanya harus urunan.” Pesan Kiai Nawawie.
Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jamiyyah rupanya berjalan cukup lama. Tak terasa sudah setahun waktu berlalu sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat kepada Kiai Hasyim. Namun, jamiyyah yang diidam-idamkan tak kunjung lahir juga. Tongkat “Musa” yang diberikan Kiai Cholil, maskih tetap dipegang erat-erat oleh Kiai Hasyim. Tongkat itu tak kunjung dilemparkannya sehingga berwujud “sesuatu” yang nantinya bakal berguna bagi ummat Islam.
Sampai pada suatu hari, As’ad muncul lagi di kediaman Kiai Hasyim dengan membawa titipan khusus dari Kiai Cholil Bangkalan. “Kiai, saya diutus oleh Kiai Cholil untuk menyerahkan tasbih ini,” kata As’ad sambil menyerahkan tasbih. “Kiai juga diminta untuk mengamalkan bacaan Ya Jabbar Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Entahlah, apa maksud di balik pemberian tasbih dan khasiat dari bacaan dua Asma Allah itu. Mungkin saja, tasbih yang diberikan oleh Kiai Cholil itu merupakan isyarat agar Kiai Hasyim lebih memantapkan hatinya untuk melaksanakan niatnya mendirikan jamiyyah. Sedangkan bacaan Asma Allah, bisa jadi sebagai doa agar niat mendirikan jamiyyah tidak terhalang oleh upaya orang-orang dzalim yang hendak menggagalkannya.


Qahhar dan Jabbar adalah dua Asma Allah yang memiliki arti hampir sama. Qahhar berarti Maha Memaksa (kehendaknya pasti terjadi, tidak bisa dihalangi oleh siapapun) dan Jabbar kurang lebih memiliki arti yang sama, tetapi adapula yang mengartikan Jabbar dengan Maha Perkasa (tidak bisa dihalangi/dikalahkan oleh siapapun).
Dikalangan pesantren, dua Asma Allah ini biasanya dijadikan amalan untuk menjatuhkan wibawa, keberanian, dan kekuatan musuh yang bertindak sewenang-wenang. Setelah menerima tasbih dan amalan itu, tekad Kiai Hasyim untuk mendirikan jamiyyah semakin mantap. Meski demikian, sampai Kiai Cholil meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M),jamiyyah yang diidamkan masih belum berdiri. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama (NU).
Setelah para ulama sepakat mendirikan jamiyyah yang diberi nama NU, Kiai Hasyim meminta Kiai Ridhwan Nashir untuk membuat lambangnya. Melalui proses istikharah, Kiai Ridhwan mendapat isyarat gambar bumi dan bintang sembilan. Setelah dibuat lambangnya, Kiai Ridhwan menghadap Kiai Hasyim seraya menyerahkan lambang NU yang telah dibuatnya. “Gambar ini sudah bagus. Namun saya minta kamu sowan ke Kiai Nawawi di Sidogiri untuk meminta petunjuk lebih lanjut,” pesan Kiai Hasyim. Dengan membawa sketsa gambar lambang NU, Kiai Ridhwan menemui Kiai Nawawi di Sidogiri. “Saya oleh Kiai Hasyim diminta membuat gambar lambang NU. Setelah saya buat gambarnya, Kiai Hasyim meminta saya untuk sowan ke Kiai supaya mendapat petunjuk lebih lanjut,” papar Kiai Ridhwan seraya menyerahkan gambarnya.
Setelah memandang gambar lambang NU secara seksama, Kiai Nawawie memberikan saran konstruktif: “Saya setuju dengan gambar bumi dan sembilan bintang. Namun masih perlu ditambah tali untuk mengikatnya.” Selain itu, Kiai Nawawie jug a meminta supaya tali yang mengikat gambar bumi ikatannya dibuat longgar. “selagi tali yang mengikat bumi itu masih kuat, sampai kiamat pun NU tidak akan sirna,” papar Kiai Nawawie.

2.3 KELAHIRAN MUHAMMADIYAH
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 Djulhijah 1330 H, atau tanggal 18 Nopember 1912 M. Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab “Muhammad” yaitu nama nabi terakhir, kemudian mendapatkan ‘ya nisbiyah’ yang artinya menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikutnya Muhammad. Tujuan : menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya.
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patang puluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.


 Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia. Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasa Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan Muhammadiyah bermaksud untuk berta’faul (berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad SAW, dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi terwujudnya izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup sebagai realita.
Faktor utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Dalam surat Ali Imran ayat 104 dikatakan bahwa: “ Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Memahami seruan diatas, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.






A.    Visi dan Misi Muhammadiyah
1.      Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil’alamin menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2.      Misi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar memiliki misi :
1.      Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
2.      Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
3.      Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai kitab Allah terakhir dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4.      Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
B.     Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Muhammadiyah
1.      Faktor obyektif yang bersifat Internal
a)      Kelemahan dan praktek ajaran Islam.




Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk :
1.      Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang agama.
Paham dan praktek agama seperti ini mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang banyak datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan adaptasi itu termanifestasikan dalam bentuk-bentuk sikap penolakan terhadap perubahan dan kemudian berapologi terhadap kebenaran tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup selama ini.
a)      Sinkretisme
Pertemuan Islam dengan budaya lokal disamping telah memperkaya khasanah budaya Islam, pada sisi lainnya telah melahirkan format-format sinkretik, percampuradukkan antara sistem kepercayaan asli masyarakat-budaya setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan budaya ini tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan ketika percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam tinjauan aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku sebagai muslim, namun kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis tidak berubah. Kepercayaan terhadap roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara Tauhid.



b)      Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan sistem pendidikan Islam yang khas Indonesia. Transformasi nilai-nilai keIslaman ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat kelemahan dalam sistem pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan kader-kader umat Islam yang dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman.
Salah satu kelemahan itu terletak pada materi pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist, Ilmu Kalam, Tasawwuf dan ilmu falak. Pesanteren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam rangka menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan lembaga pendidikan yang mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang dan sebab kenapa KH.Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani kebutuhan umat terhadap ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu duniawi.
2.      Faktor Objektif yang Bersifat Eksternal
a.       Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen. Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda.



Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari pemurtadan.
b.      Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.
Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
c.       Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari sejarah panjang gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH. Ahmad Dahlan. Tulisan-tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat mempengaruhi KH. Ahmad Dahlan, dan merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil secara terlembaga.




Dengan melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH. Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam beritijtihad. Prinsip-prinsip dasar perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada al-Quran dan Sunnah, namun implementasi dalam operasionalisasinya yang memeiliki karakter dinamis dan terus berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak memungut dari berbagai pengalaman sejarah secara terbuka (misalnya sistem kerja organisasi yang banyak diilhami dari yayasan-yayasan Katolik dan Protestan yang banyak muncul di Yogyakarta waktu itu.
C.     Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Dari Masa ke Masa
1.      KH. Ahmad Dahlan    1912 - 1923
2.      KH. Ibrahim    1923 - 1932
3.      KH. Hisyam    1932 – 1936
4.      KH. Mas Mansur        1936    1942
5.      Ki Bagoes Hadikoesoemo      1942    1953
6.      Buya AR Sutan Mansur          1953    1959
7.      KH. M Yunus Anis     1959    1962
8.      KH. Ahmad Badawi   1962    1968
9.      KH. Faqih Usman       1968    1971
10.  KH. AR. Fachruddin  1971    1990
11.  KH. A. Azhar Basyir  1990    1995
12.  Prof. Dr. H. Amien Rais         1995    2000
13.  Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif   2000    2005
14.  Prof. Dr. H. Din Syamsuddin 2005    Sampai Sekarang dan habis masa jabatannya tahun 2015




2.4 KELAHIRAN PERSIS (Persatuan islam)  
Persatuan Islam (disingkat Persis) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada 12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Persis didirikan dengan tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal, sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih.
Oleh karena itu, lewat para ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Organisasi Persatuan Islam telah tersebar di banyak provinsi antara lain Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, dan Gorontalo.
Persis bukan organisasi keagamaan yang berorientasi politik namun lebih fokus terhadap Pendidikan Islam dan Dakwah dan berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid'ah yang telah banyak menyebar di kalangan awwam orang Islam.
Tampilnya jam’iyyah Persatuan islam (Persis) dalam pentas sejarah di Indonesia pada awal abad ke-20 telah memberikan corak dan warna baru dalam gerakan pembaruan Islam.




Persis lahir sebagai jawaban atas tantangan dari kondisi umat Islam yang tenggelam dalam kejumudan (kemandegan berfikir), terperosok ke dalam kehidupan mistisisme yang berlebihan, tumbuh suburnya khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, musyrik, rusaknya moral, dan lebih dari itu, umat Islam terbelenggu oleh penjajahan kolonial Belanda yang berusaha memadamkan cahaya Islam.
Situasi demikian kemudian mengilhami munculnya gerakan “reformasi” Islam, yang pada gilirannya, melalui kontak-kontak intelektual, mempengaruhi masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan pembaharuan Islam.
logo-persisLahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan) agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang / aturan) Allah seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.



Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis. Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.
Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.



Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan. Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll. Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis). Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy pada masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.



Persatuan Islam Masa Kini
Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
2.5 KELAHIRAN AL - IRSYAD
Al-Irsyad Al-Islamiyyah adalah organisasi Islam nasional. Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah bertingkat nasional.
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.
Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-'Alamah Syeikh Ahmad Bin Muhammad Assoorkaty Al-Anshary, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami'at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905.
Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).



Perhimpunan ini adalah perhimpunan mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (AD, ps. 1 ayat 3).
Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya: Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani.
 Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami'at Khair di Jakarta dan Bogor.
Berkat kepemimpinan dan bimbingannya, dalam waktu satu tahun sekolah-sekolah tersebut maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami'at Kheir, karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami'at Kheir, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).
Sekalipun Jami'at Kheir tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik.
Ini nampak setelah para pemuka Jami'at Kheir dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad Surkati tentang kafaah (persamaan derajat). Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami'at Kheir, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan dihari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya dari golongan non-Alawi mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah dan mendapat pengakuan hukum dari Gouvernuer-General Hindia Nederland No 47  pada 11 Agustus 1915. (kemudian berganti nama Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad Al-Islamiyyah).


disingkat Al-Irsyad Al-Islamiyyah atau Al-Irsyad yang kini Pimpinan Pusatnya diketuai oleh K.H. Abdullah Djaidi (Periode 2012-2017 dipilih dalam Muktamar Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang ke 39 di Jakarta pada 28 - 30 Rajab 1433 H / 18 - 20 Juni 2012 M di Kantor Pimpinan Pusat Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Jalan Kalibata Utara II Nomor 84 Jakarta Selatan.

2.6  DOKTRIN - DOKTRIN ORMAS
Doktrin NU
a.       Doktrin Keimanan
Iman adalah pembenaran atas Allah, rasul, dan segala ajaran yang dibawakannya. Doktrin keimanan Ahlussunnah  waljamaah ini termanifestasikan dalam formula yang diajarkan Al’asyari dan Maturidi. Kedua tokoh tersebut  hampir sepakat dalam masalah akidah islamiyah, meliputi sifat-sifat wajib, mustahil dan ja'iz bagi Allah, para rasul dan malaikat-Nya, kendati keduanya berbeda dalam cara dan proses penalaran. Kedua tokoh ini hanya berbeda dalam tiga masalah yang tidak berakibat fatal, yaitu dalam masalah istitsna, takwin, dan iman dengan taqlid[1].
Tingkatan tauhid dalam Ahlussunnah  waljamaah terbagi menjadi 4 tingkatan, yakni iman bittaqlid, iman biddalil, iman bil iyyan dan iman bil haqq. Pertama, iman bittaqlid adalah keimanan melalui ungkapan orang lain tanpa mengetahui dalilnya secara langsung. Keimanan seperti ini keabsahannya masih diperselisihkan. Kedua, iman biddalil (ilmul yaqin) ialah keyakinan terhadap aqa'id lima puluh dengan dalil dan alasan filosofinya. Dua strata keimanan ini masih terhalang (بﻮﺠﺤﻣ) dalam mengetahui Allah. Ketiga, iman bil iyyan (ainul yaqin) ialah keimanan yang senantiasa hatinya muraqabah kepada Allah. Artinya, dalam kondisi apapun, Allah tidak hilang dari kesadaran hatinya.



Keempat, iman bil haqq (haqqul yaqin) yaitu keimanan yang telah terlepas dari segala yang hadîts dan tenggelam dalam fana' billah. Mempelajari ilmu tauhid, fiqh dan tasawuf, hanya akan menghasilkan iman biddalil (ilmul yaqin), dan jika keimanan ini senantiasa disertai kesadaran hati dan penghayatan amaliah, maka naik ke strata iman bil iyyan (ainul yaqin) hingga puncaknya mencapai pada iman bil haqq (haqqul yaqin).
Dalam menanggapi perbuatan manusia, Ahlussunnah  waljamaah berada di antara jabariyah dan qodariyah. Ahlussunnah  waljamaah meyakini bahwa makhluk memiliki kebebasan kehendak (ikhtiyar) namun tidak memiliki kuasa (qudrah) perbuatan selain sebatas kasb   (upaya). Dalam keyakinan Ahlussunnah  waljamaah, secara dhahir manusia adalah 'kuasa' (memiliki qudrah), namun secara batin, manusia adalah ajbûr (tidak memiliki qudrah apapun).
Adapun mengenai perbuatan dosa, Ahlussunnah  waljamaah sangat hati-hati dalam memvonis seseorang yang berdosa, tidak terjebak oleh ekstrimisme khawarij atau pun Murji’ah. Jika seseorang melakukan maksiat sementara hatiya masih memegang teguh syahadatain, ia hanya berdosa dan sesat, tidak sampai divonis kafir. Kekafiran hanya terjadi jika seseorang menafikan wujud Allah, Muhammad sebagai rasul Allah, dan menyangkal ketetapan syariat yang telah ditetapkan secara umum.
b.      Doktrin Ke-Islaman
Doktrin keislaman yang termanifestasikan ke dalam hukum fiqih yang meliputi hukum legal formal dengan syariat secara umum memiliki perbedaan. Menurut Sahal Mahfudh, fiqih diartikan sebagai usaha manusiawi, yang melibatkan proses penalaran, baik pada tataran teoritis maupun praktis, dalam memahami, menjabarkan, dan mengelaborasi hukum-hukum agama.


 Adapun syariat dipahami secara longgar untuk merujuk agama Islam atau hukum Tuhan sebagaimana dikandung dalam korpus-korpus wahyu tanfa melibatkan tangan-tangan manusia.[2] Pernyataan tersebut memiliki kesamaan makna dengan pernyataan Jaih Mubarok yang menyatakan bahwa syariat merupakan peraturan yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad untuk manusia yang mencakup ketauhidan, perbuatan, dan akhlak.[3]
Fiqih sebagai hasil istinbatul hukm (penggalian hukum), maka diperlukan perangkat tertentu yang mengatur pencapaian produk-produk fiqih, yakni ushul fiqih (legal theory) dan qawaidul fiqhiyah (legal maxims). Ushul fiqih sebagai metodologi dan prinsip dalam memahami kandungan nash sehingga membentuk aturan-aturan hukum praktis. Adapun kaidah-kaidah fiqih dipahami sebagai pedoman dalam pengambilan hukum secara praktis. Baik ushul fiqih maupun kaidah fiqih, keduanya turut menentukan akhir keputusan hukum dengan menginvestigasi latar belakang hukum tersebut.
Kaitannya dengan ijtihad manusia dalam memahami wahyu Tuhan yang termanifesasikan ke dalam fiqih, Ahlussunnah  waljamaaah menganut kepada salah satu dari madzhab hanafi, maliki, syafi’i, dan hambali.  Pada dasarnya, eksistensi madzab-madzhab fiqih tidak secara otomatis mengikuti polarisasi umat Islam di bidang akidah. Dalam hal ini, maka tidak tepat jika disebutkan bahwa para pengikut madzhab empat tersebut adalah sunni, atau sebaliknya kaum sunni adalah pengikut madzhab empat adalah sunni.
Pada kenyatannya, para teolog baik dari kalangan Muktazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah maupun Salafiyun tersebar dalam berbagai madzhab fiqih. Dalam hal ini, hanya Syi’ah selaku madzhab teologi mempunyai madzhab fiqih tersendiri yang berasal dari imam mereka, yakni Ja’far Asyadiq.   Dengan demikian, dalam madzhab fiqih  sebenarnya hanya terjadi dua kutub, yakni Syi’ah dan non Syi’ah.[4]


Alasan mendasar Ahlussunnah  waljamaah melakukan pemilihan kepada  empat madzhab di atas yang dijadikan rujukan dalam berfiqih. Di samping otenstisitas konsep-konsep yang tersusun secara rapi dan sistematis, metodologi dan epistimologi madzhab ini relatif tawazun (berimbang) dalam mensinergikan dalil aql (rasio-logis) dan dalil naql (teks-teks keagamaan). Keempat madzab tersebut dinilai paling tawasuth (moderat) dibanding madzab Dahiri yang cenderung tektualis dan Muktazilah  yang cenderung rasionalis[5].
Dengan prinsip tersebut, Ahlussunnah  mengakui bahwa empat madhab yang memadukan dalil antara Al Quran, sunnah, ijma, dan qiyas diakui mengandung kemungkinan lebih besar berada di jalur kebenaran dan keselamatan. Artinya, kebenaran yang diikuti dan diyakini oleh Ahlussunnah  waljamaah hanya bersifat kemungkinan dan bukan kemutlakan.
c.       Doktrin Ihsan
Ihsan, sebagaimana yang Nabi Muhammad sampaikan ialah Ihsan adalah seseorang  menyembah Allah seolah ia melihatNya, dan jika ia tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihat orang tersebut. Konsep ihsan ini termanifestasikan dalam tasawuf, yakni jalan spiritual yang dilakukan bukan melalui teori-teori ilmiah melainkan pengintegrasian antara ilmu dan amal, dengan jalan melepaskan (takhalli) kenistaan (akhlaq mazdmunah), mengenakan (tahalli) akhlak yang mulia, sehingga Allah terasa hadir (tajalli) dalam setiap gerak-gerik manusia[6].
            Ahlussunnah  waljamaah merujuk doktrin keihsanan ini kepada tasawuf akhlaki dan amali, juga berada mengambil jalan tengan antara tasawuf batiniyah dan tasawuf falsafi. Tasawuf batiniyah memberikan perhatian berlebihan kepada aspek batiniah sehingga menegasikan tuntutan kemanusiaan yang berporos pada penalaran rasio. Adapun tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah memasuki wilayah ontologi yang sangat dipengaruhi masalah rasio sehingga aspek yang dibicarakan adalah emanasi, inkarnasi, ittihad, dan wihdatul wujud[7].


[1] Istitsna adalah mengatakan keimanan dengan Insya Allah. Maturidi tidak memperbolehkan karena hal tersebut adalah bentuk keraguan dalam beriman, akan tetapi Asyari membolehkan karena maksud istitsna tersebut bukan keimanan yang ragu, melainkan ragu pada akhir hayat berada dala keadaan beriman atau tidak. Takwin (mewujudkan) sifat yang tidak berbeda dengan sifat Qudroh, sedangkan menurut Maturidi berbeda. Iman dengan taqlid (ikut-ikutan tanfa mengetahui dalil) menurut Maturidi dianggap sah dan masuk surge, sedangkan Asyari mengatakan tidak cukup keimanan hanya dengan taqlid.
Doktrin Teologi Muhammadiyah
Sebagai organisasi, jam’iyyah, persyarikatan dan harakah (gerakan), menurut Dr.H.M. Amien Rais,M.A, muhammadiyah memegang teguh lima doktrin yang sampai sekarang tetap hidup dikalangan warga Muhammadiyah.
a.       Tauhid
Bendera Muhammadiyah menunjukkan dengan jelas betapa seluruh gerakan dan kehidupan Muhammadiyah harus berdasarkan tauhid. Kalimah Tayyibah atau kalimah Tauhid, yaitu La ilaa ha illa Allah dan Muhammaddarrasulullah yang tercantum dalam bendera Muhammadiyah itu menjadi sumber kehidupan Muhammadiyah. Tauhid mengajarkan agar manusia berpegang teguh pada keesaan Allah sebagai tali yang kokoh.
ومن يسلم وجهه الى الله وهو محسن فقداستمسك بالعروة الوسقى والى الله عقبة الأمور
Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan dalam urusan.” (Q.S Luqman:22)



b.      Pencerahan Umat
Doktrin Muhammadiyah selanjutnya adalah mencerahkan dan umat mencerdaskan umat islam dan bangsa Indonesia. Para tokoh Muhammadiyah pendahulu tidak pernah bosan mengingatkan masyarakat islam Indonesia bahwa ilmu pengetahuan adalah barang yang hilang dari dari kaum muslimin yang harus direbut kembali. Dalam mencerdaskan dan mencerahkan umat islam, Muhammadiyah menempuh tiga proses pendiddikan sekaligus, yakni ta’lim, tarbiyah dan ta’dib.
c.       Amal Shalih
Doktrin “iman tanpa amal shalih” bagaikan “pohon tanpa buah” sangat dipegang kokoh oleh seluruh warga Muhammadiyah. Sebelum Muhammadiyah lahir, umat islam sudah terbiasa menggerakkan amal shalih dalam berbagai bidang kehidupan. Sampai sekarang semangat beramal shalih tetap kuat menghunjam dalam sikap hidup kalangan warga Muhammadiyah.
d.      Kerjasama untuk kebajikan
وتعاونواعلى البر والتقوى ولاتعاونوعلى الاسم والعدوان
Dan bekerjasamalah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan bekerjasama dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (Q.S. Al Maa’idah:2)
Ayat tersebut dijadikan doktrin perjuangan Muhammadiyah. Sebagai organisasi dakwah yang berusaha mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menegakkan kebajikan dan mencegah kemunkaran, Muhammadiyah mengimbau para mubaligh dan mubalighat-nya untuk selalu dapat bekerjasama dengan semua pihak demi tercapainya tujuan baik bersama.



e.       Tidak Berpolitik
Dalam mencapai cita-cita perjuangannya untuk membangun masyarakat utama yang diridhai Allah SWT, Muhammadiyah menghindari kegiatan politik. Masalahnya, Muhammadiyah membangun masyarakat, Muhammadiyah tidak ingin mengambil jalan pintas politik dengan membangun kekuasaan dan berambisi ikut merebut kekuasaan dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Dalam sejarahnya, Muhammadiyah pernah ditawari pemerintah untuk berubah bentuk dan jati diri menjadi partai politik. Akan tetapi tawaran itu dengan bijak danpenuh pertimbangan tidak diterima oleh para pemimpin Muhammadiyah. Sebab jelasnya, partai politik mudah bubar atau dibubarkan, dapat lebar dalam sebuah fusi, rawan perpecahan dan juga seringkali dapat mati perlahan-lahan.[1]
Doktrin persis (persatuan islam)
Belum dikatakan Persis kalau belum tahu doktrin Islam dalam kewajiban  berjamiyyah, lalu mengapa kita harus dapat bersama sama dalam menggapai ridho Alloh? Tidak hanya bersama sama tapi harus berbaris dalam satu shaf yang mempunyai pemimpin, aturan, tujuan dan yang terpenting adalah kesetiaan (ketaatan).  Jadi inti Islam adalah ketaatan.
Yang menjadi acuan adalah atsar sahabat (ucapan sahabat) Umar Bin Khattab yang mengatakan bahwa tidak ada Islam tanpa jamaah, tidak ada jamaah tanpa imaroh (kepemimpinan), dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan.
Yang terpenting adalah kita harus hafal dan memahami surat Ali Imron ayat 104 yang berbunyi:
ولْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”

Ada beberapa poin yang sangat penting bagi mereka yang mengaku muslim ditinjau dari ayat di atas yaitu:
1.      Kita harus menjadi umat: sekumpulan orang orang yang disatukan hatinya dalam satu ikatan sebuah persatuan seperti anggota badan dalam satu tubuh.
2.      Menyeru pada kebaikan, yang bertarti tugas dakwah adalah tudas semua umat Islam.
3.      Mencegah kemungkaran.
Ada tiga kategori yang harus selalu terpancang pada pribadi muslim, jika hilang salah satunya maka dia dipertanyakan keislamannya.
Jika ada  ungkapan “Lah nu penting mah Islam, tidak usah pakai organisasi organisasi malah bikin pusing” Bagaimana tidak berkata demikian jika dianya belum merasakan indahnya berorganisasi. Jika kita merasa bahwa kita dapat berislam (beribadah )sendirian  itu keliru, karena ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan sendiri,  misalnya saja kurban, gotong royong, menggalang dana dan lain sebagainya.
Sangat logis sekali jika berjamaan diidentikkann dengan satu tubuh karena kita dapat sempurna jika seluruh anggota tubuh dapat bekerja sama dengan kompak,  maka sempurna pula ketika kita dapat hidup berjamaah dan memfungsikan diri di dalamnya sebagai apapun dalam rangka memberikan kontribusi yang berguna bagi keberlangusan jamiyyah.
Doktrin al - irsyad
Al-Irsyad sebetulnya terinspirasi dan diwarnai oleh Pemikiran Syekh Rashid Ridha yang mendirikan Jam'iyat dan Da'wah wa Al-Irsyad di Mesir. Tujuan Utama dari gerakan ini adalah menghasung kaum muslimin mengabdikan dirinya dalam mendidik umat dan memberikan yang terbaik untuk islam.


Gerakan ini pada awalnya berdiri di jakarta pada 6 September 1914,k dua tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Tapi dalam waktu singkat terus berkembang dengan pesat ke beberapa kota lain di pulau jawa. Setidaknya dalam gerakan awalnya, ada lima prinsip yang dengan setia selalu dijaga oleh Al-Irsyad.
1.      Meneguhkan Doktrin persatuan kaum Muslim dan membersihkan ibadah dari unsur - unsur bid'ah
2.      mewujudkan kesetaraan derajat diantara Muslim dalam menggali Al Quran dan Sunnah.
3.      Memerangi taqlid yang merebak.
4.      Menyiarkan Ilmu dan ajaran islam
5.      Membangun Pemahaman antara Muslim Indonesia dan Keturunan Arab di Ind onesia    
Konsentrasi awal gerakan ini untuk mensukseskan programnya adalah membangun dan mendirikan lembaga - lembaga pendidikan dan Tarbiyah. Bisa di bilang Al-Irsyad adalah salah satu gerakan Islam yang melahirkan tokoh-tokoh bangsa di awal-awal kemerdekaan dengan program dan perannya. Agenda-agenda reformasi yang diusungnya tanpa ragu lagi telah memberikan peran tersendiri dalam perjuangannya di Indonesia. Bahkan, sebagian besar tokoh besar Muhammadiyah kala itu adalah kader-kader yang juga dibina dalam lembaga pendidikan Al-Irsyad.
Gerakan ini dalam perkembangannya mengkonsentrasikan diri dalam perbaikan kondisi religius kqaum muslim, dari kalangan Arab khususnya dengan cara mendirikan madrasah, rumah piatu, panti asuhan dan juga rumah sakit. Tak ketinggalan menyebarkan ide reformasi lewat tulisan dan penerbitan pun dilakukan oleh gerakan lewat berbagai even dan aksi, mulai dari publikasi, kelompok studi sampai aksi.



Pada tahun awal berdirinya, Al-Irsyad sudah memiliki madrasah Awaliyah dengan jenjang pendidikan selama tiga tahun. Ada juga Madrasah Ibtidaiyah dengan jenjang empat tahun, Madrasah Tajhiziah berjenjang dua tahun dan Madrasah Mu'alimin yang di khususkan untuk para Guru. Singkat kata, peran Al-Irsyad Al-Islamiyah dalam membangun umat dan membangun bangsa tak bisa diragukan lagi.
Tapi sungguh sayang, organisasi dengan peran panjang dan besar itu kini tengah digoyang badai, Perbedaan pendapat yang kian meruncing terjadi di dalam tubuh gerakan pelopor kebangkitan ini. Perbedaan tersebut terus berlanjut hingga ke meja hijau. Sebuah peristiwa yang mengatakan, sejarah besar tak lagi mampu menyatukan hati. Semoga ikatan hati (mukmin) kembali menyatukan organisasi ini.













BAB III
KESIMPULAN
The purpose of religion is to control yourelf, not to criticise others. “ tujuan agama adalah untuk mengkontrol diri sendiri, bukan untuk mengkritik orang lain ,khususnya dalam konteks hubungan manusia dengan tuhannya.
            hakikatnya orang beragama mencari yang dekat dengan benarnya bukan benar 100% , Perbedaan itu akan menjadikan rahmat jika mampu menyadari sepenuh hati bahwa hidup akan lebih nyaman dan tentram manakala setiap manusia menerima dan menghormati perbedaan.














DAFTAR PUSTAKA
http://my-dock.blogspot.com/#ixzz4Nh3wp3Zv

No comments:

Post a Comment