MAKALAH Hadist munqathi, mudallas,
mursal, mu’an’an, muannan
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar
Belakang Masalah
Hadist Mudallas
adalah Apabila
seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui
dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak
pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang
mengandung makna mendengar, seperti “dari" atau “ia berkata"
Hadis mursal adalah isim maf’ul dan
kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, maka seakan-akan hadis
mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi yang terkenal.
Sedangkan menurut istilah adalah
hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah
tabi’in. Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis
yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat
Nabi.
Adapun menurut
pendapat dari sebuah buku yang ditulis oleh Drs.M.Solahudin,M.Ag “Ulumul Hadis” (Bandung,2009), bahwa hadis mursal
adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil, dan selanjutnya akan dibahas dimakalah ini.
II.
Rumusan
Masalah
Adapun Perumusan
masalah pada pembahasan bab ini meliputi :
1.
Apa yang dimaksud dengan Hadist Munqhati?
2.
Apa yang dimaksud dengan Hadist Mudallas
3.
Apa yang dimaksud dengan Hadist Mursal?
4.
Apa yang dimaksud dengan Hadist Mu’an’an
5.
Apa yang dimaksud dengan Hadist Muannan?
III.
Tujuan
Masalah
Penulisan
makalah ini ditujukan untuk :
1.
Mampu mengetahui pengertian Hadist Munqhati
2.
Mampu mengetahui Hadist Mudallas
3.
Mampu memahami Hadist mursal
4.
Mampu memahami Hadist Mu’an’an
6.
Mampu mengetahui Hadist Muannan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HADIST MUNQATHI
§ Pengertian Hadits Munqathi’
Definisi
مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ
الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada
inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah tingkatan shahabat
§ Penjelasan
Definisi
Apabila di tengah-tengah rangkaian sanadnya
ada keterputusan; baik di satu tempat atau lebih selama tidak terputus
secara berturut-turut. Keterputusan itu terjadi pada generasi di bawah
tingkatan shahabat; seperti tabi’in atau generasi setelahnya. Sedangkan
apabila inqitha’ itu di atas generasi tabi’in maka
namanya mursal.
Contoh;
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Nasa’i di dalam kitabnya as-Sunan (3/248) dengan jalan;
مُوْسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلِي، عَنِ
الْحَسَنِ بْنِ عَلِي، قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلْمَاتِ فِي الْوِتْرِ … فَذَكَرَ حَدِيْثَ دُعَاءِ
الْقُنُوْطِ
Musa bin Uqbah, dari Abdillah bin
Ali, dari Al Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan kepadaku
beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadits tentang
do’a qunut.
Sanad hadits ini inqitha’.
Al Hafidz Ibnu Hajar ra berkata di dalam kitab at-Talkhish Al Khabir(1/264), “Abdullah
bin ‘Ali adalah Ibnu Al Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan Al Hasan
bin Ali"
B.
HADIST MUDALLAS
§ Definisi
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ
شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ
السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat
meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar
riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar
darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna
mendengar, seperti “dari" atau “ia berkata"
Contoh; Hadits yang dikeluarkan oleh Imam
Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703)
dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ
بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا
مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ
أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari Al Barra’ bin
‘Azib, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Tidakah
dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan
mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin
Abdullah, dia siqah dan banyak meriwayatkan hadits, hanya saja
dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah mendengarkan hadits dari Al
Barra’ bin ‘Azib, jelas telah ditetapkan di dalam beberapa hadits. Hanya pada
hadits ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan
telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan
kata ‘an). Padahal hadits ini tidak ia dengarkan langsung dari Al
Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadits tersebut dari Abu Dawud Al A’ma
(namanya adalah Nafi’ bin Al Haris), sedangkan ia matruk (tertolak
haditsnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara
langsung ialah, Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadits di dalam kitab Al
Ikhwan (h.172) dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari
Abu Dawud, ia berkata; aku menemui Al Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat
tangannya, lalu ia berkata; Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda… ia menyebutkan hadits di atas.
Di di antara riwayat yang
menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Dawud Al A’ma adalah; Imam
Ahmad mengeluarkan hadits tersebut di dalam Musnad-nya (4/289)
dengan jalan, Malik bin Maghul, dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan
demikian, hadits Abu Ishaq dari Al Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadits yang dikeluarkan
oleh at-Tirmidzi di dalam kitab Al Jami’, dengan jalan;
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ
يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ
عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ
أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar,
dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij,
ia berkata; Aku mendengar rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
Tunggulah sampai langit menguning untuk shalat fajar, karena hal itu merupakan
sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar
orangnya jujur, hanya saja ia mudallis, bahkan termasuk orang yang
banyak mentadliskan riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini,
karena ia menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits
tersebut dengan sanad (3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ، قَالَ :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ …
فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami
Yazid, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia
berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadits
dengan matan seperti di atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq
telah mendengarkan hadits ini dari Ibnu ‘Ajlan .
§ Macam-macam
Tadlis
1. Pertama, Tadlis Isnad;
yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan contohnya telah
disebutkan di atas.
2. Kedua, Tadlis Syaikh;
yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadits-nya dengan identitas yang tidak
masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah.Hal
itu dilakukan karena kedha’ifannya atau karena kemajhulannya,
dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan
kondisi gurunya,.
Contoh; hadits yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud di dalam Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ
جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ
عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ
رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan
kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu
Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia
menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadits tentang talak
tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin
Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah
mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari
gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya
karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan
kepadaku". Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya,
tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang
benar, guru Ibnu Juraij pada hadits ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu
Rafi’, dia matruk. Al Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul
hadits" Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya". Abu Hatim
berkata, “haditsnya sangat munkar, dan ditinggalkan"
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama
gurunya pada riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak (2/491),
dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
3. Ketiga, Tadlis
Bilad;
Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorangmuhaddits mengatakan,
“Telah menceritakan kepadaku Al Bukhari", yang dimaksudkan dengan kata Al
Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh Al
Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai" yang
dimaksud adalah sungai Tigris. Atau Al Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan
hadits di Andalus" yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di
Qarafah.
4. Keempat,Tadlis
‘Athf;
yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan
mengajarkan hadits kepadaku", padahal ia hanya mendengar dari orang yang
pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadits dari orang yang kedua.
Contoh, Hadits yang disebutkan oleh
Al Hakim di dalam ‘Ulum Al Hadits (h.131), Bahwa beberapa
murid Hasyim –salah seorang rawi yang disebut-sebut telah
melakukan tadlis– pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak
akan mengambil hadits yang ditadliskan oleh Hasyim. Kemudian Hasyim
menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadits yang
disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim.
Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan
riwayat untuk kalian hari ini?" Mereka menjawab, “Tidak". Hasyim
berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku
sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan
Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’".
5. Kelima, Tadlis
as-Sukut.
Yaitu seorang ahli hadits mengatakan haddatsana (telah
mengajarkan hadits kepada kami) atau sami’tu (aku telah
mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan
kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu
Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadits dari Hisyam.
Contoh, hadits yang disebutkan oleh
Ibnu Adi di dalam Al Kamil fi adh-Dhu’afa’. Dari Umar bin Ubaid
ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan
kepada kami)" kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian
mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu
seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak
pernah menerima hadits darinya)
6. Keenam, Tadlis
Taswiyah.
Ini adalah macam tadlis yang paling buruk. Bentuknya,
seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari
rangkaian sanad, bisa karena kedha’ifannya atau karena
usianya yang sangat muda, sehingga hadits tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula.
Macam tadlis ini adalah yang paling tercela, karena di
dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal yang disebut telah
melakukan tadlis macam ini adalah Al Walid bin Muslim dan
Baqiyah bin Al Walid.
§ Hukum ‘An‘anah seorang Mudallis
Secara umum seorang mudallis yang
banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah,
dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar)
maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits
secarasima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya,
yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah,
maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali
apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadits. Hal itu
ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan haditsnya dan menguji riwayatnya.
§ Tingkatan
Mudallis
Para rawi yang
disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa
tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi
hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
1. Orang
yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti
Yahya bin Sa’id Al Anshari
2. Orang
yang tadlisnya ringan, dan haditsnya masih disebutkan di dalam
kitab Ash Shahihkarena keimamannya di satu sisi dan
sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin
Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti
Sufyan bin Uyainah.
3. Orang
yang haditsnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka
tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan
“mendengar" dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya
selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa haditsnya itu telah ditadliskan,
seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi dan Abu Ishaq as-Sabi’i
- Orang
yang disepakati oleh ahli hadits untuk tidak berhujjah dengan haditsnya
yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena
banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti
Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
- Orang
yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang
mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, haditsnya tertolah meskipun
diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab Al Kalbiy dan Abu
Sa’id Al Biqal
§ Perbedaan
antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya
perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena
kemiripan antara keduanya dalam hal tidak mendengar hadits dari orang yang
disebutkan sebagai orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu
terletak pada hukum ‘an‘anahdari orang yang disebutkan pada salah
satu di antara keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan
menamakan irsal khafi dengan sebutan tadlis. Yang
utama, antara keduanya terdapat perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang ahli hadits
meriwayatkan hadits dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah bertemu, atau
bertemu tetapi ia tidak mendengar hadits darinya. Dalam meriwayatkan hadits itu
ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar secara langsung, seperti
kata “dari" atau “ia berkata".
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran
Al A’masy, dari Anas bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik
ra, tetapi ia tidak menerima hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Anas
bin Malik yang dia dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari
Anas
Ali bin Al Madiniy berkata; Al
A’masy tidak pernah menerima hadits dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika
sedang bercelak dan ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid
ar-Ruqasyi dan Aban dari Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakanmursal,
bukan mudallas, meskipun Al A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam
periwayatannya dari guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan Al
Basri, ia melihat Utsman bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau tentang
membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan Al Basri sama sekali tidak
mendengar hadits yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu
periwayatan Hasan Al Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu
a’lam.
Dengan demikian perbedaan
antara Tadlis dan Irsal terletak pada
cara sima’nya seorangmuhaddis dari gurunya, yang dia
riwayatkan hadits darinya. Apabila ia meriwayatkan suatu hadits dari seorang
guru yang ia dengar hadits darinya, tetapi hadits itu tidak ia dengar langsung,
melainkan dengan adanya perantara, maka itu namanya tadlis.
Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadits dari seorang guru yang tidak pernah ia
lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar hadits darinya, maka riwayatnya
itu dinamakan mursal.
§ Perbedaan
antara Tadlis dan Irsal
Orang yang dikatakan tadlis,
pada umumnya ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia memberikan penjelasan
pada setiap riwayatnya bahwa ia telah menerima hadits secara sima’ dari
seorang guru. Adapun secara khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang
tingkatan mudallis. Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya
riwayat dari seorang syaikh yang mursal –yang tidak disebut
sebagai tadlis– maka ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia
menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’, meskipun
sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.
§ Mengenal
orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami
nama-nama mudallis, thabaqatnya dari segi tadlis,
silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama’
tentang tadlis dan mudallis. Di antara kitab-kitab
yang telah dicetak antara lain;
- At-Tabyin
li Asma’ Al Mudallisin, karangan Burhanuddin Al Halabiy.
- Ta’rif
Ahlu at-Taqdis bi Maratib Al Maushufin bi-at-Tadlis, karangan Al Hafidz Ibnu
Hajar.
- Jami’
at-Tahshil fi Ahkam Al Marasil, karangan Al Hafidz
Shalahuddin Al ‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu tentang tadlis dan mudallisnya.
- Ittikhaf
Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadhilah asy-Syaikh
Hammad bin Muhammad Al Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat
bermanfaat, di dalam kitab ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di
atas, dan memberikan penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang
nama-nama mudallis.
Adapun secara terperinci, pembahasan
tentang ‘an‘anah seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan yang
berbeda-beda, saya telah menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu
an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah merujuk
ke sana.
Ta’rif Ahli at-Tadhis Bimaratib
al-Muwashsahafin bi at-Tadhis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan ittikhaf dawi
ar-Rasukh biman rumiya bi at-Tadhis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah Syaikh Hammad
bin Muhammad al-Anshari, h.10.
Terdapat perbedaan pendapat tentang
beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala
al-Alsinah al-Wafidah
C. HADIST MURSAL
A. Pengertian
hadis mursal, mursal shahabi dan mursal khafi
1. Hadis mursal
Hadis
mursal adalah isim maf’ul dan kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, maka seakan-akan hadis
mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi yang terkenal.
Sedangkan
menurut istilah adalah hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur
sesudah tabi’in. Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan
hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in
besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat
Nabi.
Adapun
menurut pendapat dari sebuah buku yang ditulis oleh Drs.M.Solahudin,M.Ag “Ulumul Hadis” (Bandung,2009), bahwa hadis mursal
adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar
maupun tabi’in kecil.
Jadi,
dapat disimpulkan dari tiga pendapat diatas mengenai pengertian hadis mursal,
yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, tanpa
disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi dikarenakan gugurnya sanad
setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur disini ialah tidak disebutkannya
nama sanad terakhir.
Shubhi
al-Shahih dengan mengutip pendapat al-Qasimi dalam Qawa’id al-Tahdits dan al-Sakhawi dalam Fath al-Mughits, membuat tingkatan hadis-hadis mursal
dari yang tertinggi sampai terendah, sebagai berikut
:
a) Hadis
mursal dari sahabat yang bisa mendengar langsung.
b) Hadis
mursal dari sahabat yang hanya dapat melihat tetapi tidak bisa mendengarnya
sendiri.
c) Hadis
mursal dari sahabat yang hidup pada dua masa (masa jahiliyah dan islam).
d) Hadis
mursal dari orang pandai seperti Sa’id bin al-Musayyib.
e) Hadis
mursal dari seorang yang tinggal bersama gurunya seperti al-Sya’bi dan Mujahid.
f) Hadis
mursal periwayat yang mengutip dari setiap periwayat seperti al-Hasan.
g) Hadis
mursal dari angkatan muda tabi’in seperti Qatadah al-Zuhri, dan Humayd
al-Thawil yang mengutip hadis dari tabi’in.
2. Hadis mursal shahabi
Hadis
mursal shahabi yaitu pemberitaan sahabat disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.,
tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan,
karena pada saat Rosulullah masih hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya
kedalam agama islam. Dan yang termasuk semacam ini adalah hadis-hadis yang
banyak karena masih kecilnya sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dan
yang lainnya. Hadis mursal shahabi dianggap shahih karena pada Galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari pada
sahabat.
Dalam
buku karangan Dr.Idri,M.Ag. yang berjudul “Studi Hadis” (Jakarta,2010),
dijelaskan bahwa hadis mursal shahabi ialah hadis yang disandarkan langsung
oleh seorang sahabat kepada Nabi tanpa menyebut sahabat lain yang sesungguhnya
pernah mendengar hadis itu darinya. Dalam hal ini, periwayat yang menggugurkan
sahabat Nabi dalam sanad adalah periwayat yang berstatus sahabat juga. Sebagian
ulama berpendapat bahwa hadis mursal merupakan hadis yang bersambung sanadnya,
asalkan sanad sebelum sahabat dalam keadaan bersambung. Pendapat ini didasarkan
tiga alasan, yaitu:
a) Periwayatan
yang menggunakan adalah sahabat Nabi juga, sedang sahabat Nabi bersifat adil.
b) Tidak
banyak jumlah hadis yang diterima oleh sahabat dari tabi’in sehingga tidka
perlu dikhawatirkan periwayat yang digugurkan oleh sahabat tersebut adalah
tabi’in dan sahabat Nabi.
c) Sulit
menghindari mursal shahabi karena kebanyakan riwayat sahabat muda tertentu.
d) Hadis
mursal khafi
3. Hadis
mursal khafi yaitu hadis yang diriwayatkan tabi’in, diaman tabi’in yang
meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar
sebuah hadis pun darinya.
B. Hukum hadis mursal,
mursal shahabi dan mursal khafi
Pada
asalnya hadis mursal itu dha’if lagi mardud (tertolak), karena hilangnya salah
satu syarat dari syarat-syarat hadis maqbul, yaitu bersambung sanadnya. Secara
global pendapat ulama mengenai hadis mursal ada tiga pendapat, yaitu :
1. ukumnya
dho’if (tertolak), ketika menurut kebanyakan ulama ahli hadis dan kebanyakan
dari kalangan ahli ushul dan fiqih, dasar mereka adalah tidak diketahuinya
keadaan rawi yang dibuang, karena bisa terjadi bukan sahabat.
2. Hukumnya
shahih dapat dijadikan dasar, jika yang mursal itu orang yang terpercaya dan tidak
bisa mursal dari rawi yang tsiqat. Ini menurut Imam Abu hanifah, Imam Malik dan
Imam Ahmad, dasar mereka adalah bahwa tabi’in itu tsiqat mustahil menyatakan
“Telah bersabda Rosulullah kecuali bila telah mendengarnay dari orang yang
tsiqat pula”.
3. Hukumnya
diterima dengan syarat, yakni syah dengan syarat-syarat, pendapat ini menurut
Imam Syafi’i dan sebagian ahli ilmu. Syarat-syarat itu ada empat, tiga pada
rawi yang mursal, sebagai berikut :
a) Hendaknya
mursal itu dari kalangan tabi’in besar.
b) Apabila
orang yang menanamkan itu orang yang tsiqat.
c) Apabila
bersekutu padanya orang-orang yang hafidz lagi terpercaya dimana mereka tidak
menyelisihnya.
d) Bilamana
tiga syarat tersebut mengandung salah satu hal sebagai berikut :
·
Bilamana hadis tersebut diriwayatkan
dari jalan lain dalam keadaan bersandar.
·
Bilamana hadis itu diriwayatkan dari
jalan lain secara mursal, terputus dan mengetahuinya tanpa melewati
perawi-perawi yang mursal pertama.
·
Atau bilamana sesuai dengan
perkataan sahabat.
Kemudian
apabila telah terwujud syarat-syarat ini, maka jelaslah keabsahan tempat
keluarnya hadis mursal dan yang melawannya, dan keduanya itu sama-sama shahih,
seandainya yang melawan keduanya shahih dari jalan satu maka keduanya kita
kembalikan kepadanya, hal itu bilamana terhalang menggabungkan antara keduanya.
Shahih
masyhur yang ditetapkan oleh jumhur ulama bahwa ia benar-benar shahih itu dapat
dijadikan hujjah. Karena riwayat sahabat dan tabi’in jarang sekali terjadinya.
Dan apabila mereka melihat atau mengetahui dari mereka maka mereka
menjelaskannya, lalu apabila mereka tidak memperjelaskannya dan mereka berkata
“Telah bersabda Rasulullah saw.”maka pada asalnya mereka
telah mendengarnya dari sahabat lain, dan pembuangan sahabat itu tidak merusak,
sebagaimana pembahasan terdahulu. Terdapat pendapat yang lemah sekali mengenai
bahwa mursal shahabi itu seperti mursal lainnya dalam hal hukumnya.
C. Hadis mursal
menurut Fuqaha dan para Ahli Ushul
Hadis
mursal termasuk hadis yang terkenal diantara Fuqaha dan para Ahli Ushul, yang
tanpa disandarkan kepada sahabat Nabi. Ahli hadis Khatib al-Bagdadi
mengemukakan segala yang terpotong sanadnya itu ialah hadis mursal.
D. Contoh hadis
mursal, mursal shahabi dan mursal khafi
1. Contoh hadis mursal
a. Dalam shahih al-Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ
تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَقَالَ ابْنُ
شِهَابٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ
آمِينَ
“Abdullah bin Yusuf bercerita kepada
kami, katanya Malik bercerita kepada kami dari Ibn Syihab dari Sa’id bin
al-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman keduanya menceritakan dari Abu
Hurairah bahwa Nabi SAW.,bersabda, ‘jika imam mengucapkan amin, maka ucapkanlah
amin karena sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti ucapan aminnya, yaitu amin
malaikat, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu diampuni’. Dan Ibn Syihab
al-Zuhri berkata, ‘Adalah Rosulullah SAW.,mengucapkan amin”.
b. Dalam Shahih Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَمَّنَ
الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ آمِينَ
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi
SAW bersabda,’ jika imam mengucapkan amin, amak ucapkanlah amin karena
sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti ucapan aminnya, yaitu amin malaikat,
niscaya dosa-dosa yang terdahulu diampuni’. Dan Ibn Syihab al-Zuhri
berkata,’Adalah Rasulullah SAW. mengucapkan amin”.
Dari kedua hadis diatas yang berstatus mursal adalah hadis
yang akhirannya terdapat kalimat :
قَالَ ابْنُ شِهَابٍ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ آمِينَ
(Dan Ibn Syihab al-Zuhri berkata,’Adalah Rasulullah SAW.,
mengucapakan amin’)
D. HADIST MU’AN’AN
Pengertian dari hadits mu’an’an (مُعَنْعَن) adalah hadits
yang sanadnya terdapat redaksi ‘an (dari) seseorang [Muhammad ‘Ujjaj
al-Khathib, 1989, Ushul Al-Hadits Ulmuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar
Al-Fikr).].
Mu’an’an adalah suatu metode meriwayatkan hadits dengan menggunakan kata ‘an (dari),seperti ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, tanpa menyebutkan kata-kata yang jelas dan meyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar, menceritakan, atau mengabarkan dari rawi sebelumnya, namun disyaratkan harus tetap dengan menyebut nama rawi-rawinya [Al-Maliki, Prof. Dr. Muhammad Alawi. 2009. Al-Manhalu Al-lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi Asy-Syariif : Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 103]. Jadi hadits mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menggunakan kata ‘an (عن) atau
الحَدِيْثُ المُعَنْعَنُ هُوَ
الاِسْنَادُ الَّذِى فِيْهِ فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ
Hadits Mu’an’an ialah hadits yang dalam
mata rantai sanadnya ditemukan adanya kalimat Fulan dari Fulan.
Pendapat
ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
1) Bahwa
hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam
kategori hadits yang sanadnyamuttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk
bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat.
Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:
a. Syarat-syarat
yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan
sejumlah ahli hadits lain antara lain:
1. Perawi
harus mempunyai sifat ‘adalah.
2. Harus
terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
3. Perawi
bukan termasuk mudallis.
b. Syarat-syarat
yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
1.
Perawi harus mempunyai sifat
‘adalah.
2.
Perawi bukan termasuk mudallis.
3.
Hubungan antara yang meriwayatkan
hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu.
2) Bahwa
hadits mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits
mu’an-an tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .
Kesimpulan
dari uraian diatas dapat kita klasifikasikan menjadi tiga pendapat sesuai
dengan komentar Ibnu Hajar:
·
Bahwa redaksi sanad dengan ‘an
posisinya sama dengan redaksihaddastana dan akhbarana.
·
Tidak dikatakan sama dengan redaksi
haddastana dan akhbarana.Ketika hadits itu diriwayatkan oleh mudallis.
·
Redaksi ‘an sama dengan akhbarana
dalam penerimaan hadits secara ijazah.Untuk itulah hadits yang redaksinya
memakai ‘an masih dalam kategori muttasil. Akan tetapi derajat ‘an masih
dibawah sami’tu.
حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن
ابيه عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر {رواه مسلم}.
E. HADIST MUANNAN
Definisi Hadits Muannan
Pengertiaanya
adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam
mengomentari hadits seperti ini dapat di kalsifikasikan menjadi dua:
1. Bahwa
hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila mempunyai
syarat-syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat Imam
Malik dan jumhurul hadits.
2. Hadits
muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat kejelasan bahwa
murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al- Bardaji. Contoh dari
hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Shihab أن سعيد بن مسيب قال ……
Persyaratan Mu’asharah dan Liqa’
Ulama’
ahli hadits berkomentar bahwa hadits yang dalam periwayatannya menggunakan cara
seperti hadits mu’an’an dan muannan, bisa berstatus sama dengan hadits muttasil dengan adanya dua syarat,
yaitu :
1)
Isytirathul Mu’asharah (اشتراط المعا صرة)
Masing-masing perawi harus hidup segenerasi dengan perawi yang menyampaikan hadits kepadanya. Maksudnya setiap tingkatan perawi harus pernah hidup dalam satu kurun waktu dengan tingkatan perawi di atasnya.
Suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari tingkat tabi’in, harus diteliti terlebih dahulu apakah beliau pernah hidup semasa dengan sahabat yang dirawikan hadits tersebut kepadanya, demikian pula perawi dari tingkat di bawahnya. Untuk itu, kita harus melihat biografi para perawi tersebut terlebih dahulu.
Sebagai contoh, misalkan Sa’id Al-Musayyab perawi dari tingkat tabi’in meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah seorang perawi dari tingkat sahabat. Setelah diteliti, Sa’id Al-Musayyab hidup pada tahun 13 H – 94 H dan adapun Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Dari itu maka dapat diketahui bahwa kedua perawi tersebut pernah hidup semasa, yakni di antara tahun 13 H – 57 H.
2)
Isytirathul liqa’ (اشتراط اللقاء)
Selain para perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu yang sama, masing-masing perawi harus benar-benar pernah bertemu dengan perawi yang menyampaikan hadist kepadanya.
Hal ini pun perlu diteliti kembali melalui riwayat hidup para perawinya, apakah masing-masing tingkatan para perawi tersebut pernah bertemu atau tidak. Jika setelah diteliti dan ternya kenyataannya bahwa tidak semua perawi itu pernah bertemu, maka menurut Imam Bukhari hadits itu dianggap cacat dan tidak dapat diterima untuk dijadikan sebagai hujjah.
Persyaratan mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan hadits sangat berkaitan dengan ilmu rijalul hadits, yaitu suatu cabang ilmu hadits yang mempelajari keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.
Oleh ulama hadits, salah satu alasan mereka lebih mengutamakan keshahihan kitab Imam Bukhari dibandingkan kitab Imam Muslim ialah Imam Bukhari mensyaratkan kedua persyaratan di atas dalam menyeleksi hadits-hadits di dalam kitabnya, adapun Imam Muslim mencukupkan pada syarat mu’asharahnya saja.
Beberapa Kitab Biografi Para Perawi
Hadits
Para
ulama hadits telah membukukan riwayat hidup perawi-perawi mulai dari tingkat
sahabat sampai para pentakhrij hadits, di antaranya:
a.
Kitab yang berkaitan khusus dengan sahabat:
·
Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah
Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H).
Kitab ini tidak sampai kepada kita.
·
Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab,
karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu
‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali,
di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.
·
Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati
Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari
(wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
·
Al-Ishaabah fii Tamyiizi
Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali
Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H)
b.
Kitab yang disusun berdasarkan tingkat perawi,
termasuk sahabat,tabi’in, dan tabi’ tabi’in:
·
Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad
bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim telahmenyebutkannya dalam
kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya
Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut.
·
Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya
Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid.
·
Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin,
karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat tahun 353 H).
BAB III
KESIMPULAN
Pengertian
Hadits Munqathi’
مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ
الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada
inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah
tingkatan shahabat
Pengertian Hadis Mudallas
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ
شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ
تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila
seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui
dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak
pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang
mengandung makna mendengar, seperti “dari" atau “ia berkata"
§ Macam-macam
Tadlis
1. Pertama, Tadlis Isnad;
2. Kedua, Tadlis Syaikh;
3. Ketiga, Tadlis
Bilad;
4. Keempat,Tadlis
‘Athf;
5. Kelima, Tadlis
as-Sukut.
6. Keenam, Tadlis
Taswiyah
§ Hukum ‘An‘anah seorang Mudallis
Secara umum seorang mudallis yang
banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah,
dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar)
maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits
secarasima’ maka riwayat itu dapat diterima.
DAFTAR
PUSTAKA
No comments:
Post a Comment