Monday, 16 January 2017

MAKALAH Hadist munqathi, mudallas, mursal, mu’an’an, muannan



BAB I
PENDAHULUAN
I.        Latar Belakang Masalah
Hadist Mudallas adalah Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari" atau “ia berkata"
Hadis mursal adalah isim maf’ul dan kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, maka seakan-akan hadis mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi yang terkenal.
Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in. Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi. 
      Adapun menurut pendapat dari sebuah buku yang ditulis oleh Drs.M.Solahudin,M.Ag “Ulumul Hadis” (Bandung,2009), bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, dan selanjutnya akan dibahas dimakalah ini.
         
II.        Rumusan Masalah
Adapun  Perumusan masalah pada pembahasan bab ini meliputi :
1.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Munqhati?
2.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Mudallas
3.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Mursal?
4.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Mu’an’an
5.      Apa yang dimaksud dengan Hadist Muannan?


III.        Tujuan Masalah
Penulisan makalah ini ditujukan untuk :
1.      Mampu mengetahui pengertian Hadist Munqhati
2.      Mampu mengetahui Hadist Mudallas
3.      Mampu memahami Hadist mursal
4.      Mampu memahami Hadist Mu’an’an
6.      Mampu mengetahui Hadist Muannan
























BAB II
PEMBAHASAN

A.     HADIST MUNQATHI
§  Pengertian Hadits Munqathi’
Definisi
مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah tingkatan shahabat
§  Penjelasan Definisi
Apabila di tengah-tengah rangkaian sanadnya ada keterputusan; baik di satu tempat atau lebih selama tidak terputus secara berturut-turut. Keterputusan itu terjadi pada generasi di bawah tingkatan shahabat; seperti tabi’in atau generasi setelahnya. Sedangkan apabila inqitha’ itu di atas generasi tabi’in maka namanya mursal.
Contoh;
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Nasa’i di dalam kitabnya as-Sunan (3/248) dengan jalan;
مُوْسَى بْنُ عُقْبَةَ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَلِي، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي، قَالَ: عَلَّمَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَؤُلاَءِ الْكَلْمَاتِ فِي الْوِتْرِ … فَذَكَرَ حَدِيْثَ دُعَاءِ الْقُنُوْطِ
Musa bin Uqbah, dari Abdillah bin Ali, dari Al Hasan bin Ali, ia berkata; Rasulullah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat itu di dalam shalat witir (…) lalu menyebutkan hadits tentang do’a qunut.
Sanad hadits ini inqitha’. Al Hafidz Ibnu Hajar ra berkata di dalam kitab at-Talkhish Al Khabir(1/264), “Abdullah bin ‘Ali adalah Ibnu Al Husain bin ‘Ali, tidak pernah bertemu dengan Al Hasan bin Ali"
B.      HADIST MUDALLAS
§  Definisi
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari" atau “ia berkata"
Contoh; Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عَن أَبِي إِسْحَاقَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ
 فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
Dari Abu Ishaq, dari Al Barra’ bin ‘Azib, ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.
Abu Ishaq as-Sabi’i adalah Amr bin Abdullah, dia siqah dan banyak meriwayatkan hadits, hanya saja dia dianggap tadlis. Mengenai ia telah mendengarkan hadits dari Al Barra’ bin ‘Azib, jelas telah ditetapkan di dalam beberapa hadits. Hanya pada hadits ini saja ia meriwayatkan dengan ungkapan yang mengandung kemungkinan telah mendengar secara langsung, yaitu dengan ‘an’anah (menggunakan kata ‘an). Padahal hadits ini tidak ia dengarkan langsung dari Al Barra’ bin ‘Azib. Ia mendengarkan hadits tersebut dari Abu Dawud Al A’ma (namanya adalah Nafi’ bin Al Haris), sedangkan ia matruk (tertolak haditsnya) dan dituduh berdusta.
Bukti ia tidak mendengarkan secara langsung ialah, Ibnu Abi Dun-ya mengeluarkan hadits di dalam kitab Al Ikhwan (h.172) dari jalan Abu Bakr bin ‘Iyasy, dari Abu Ishaq, dari Abu Dawud, ia berkata; aku menemui Al Barra’ bin ‘Azib, kemudian aku menjabat tangannya, lalu ia berkata; Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda… ia menyebutkan hadits di atas.
Di di antara riwayat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut berasal dari Abu Dawud Al A’ma adalah; Imam Ahmad mengeluarkan hadits tersebut di dalam Musnad-nya (4/289) dengan jalan, Malik bin Maghul, dari Abu Dawud … dan seterusnya. Dengan demikian, hadits Abu Ishaq dari Al Barra’ adalah Mudallas.
Contoh lain, hadits yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi di dalam kitab Al Jami’, dengan jalan;
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَّارٍ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلْأَجْرِ
Dari Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Ashim bin Umar bin Qatadah, dari Mahmud bin Labid dari Rafi’ bin Khadij, ia berkata; Aku mendengar rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Tunggulah sampai langit menguning untuk shalat fajar, karena hal itu merupakan sebesar-besar pahala.
Muhammad bin Ishaq bin Yassar orangnya jujur, hanya saja ia mudallis, bahkan termasuk orang yang banyak mentadliskan riwayat. Dia telah mentadliskan sanad ini, karena ia menerima riwayat dari Muhammad bin ‘Ajlan, dari ‘Ashim bin Umar.
Imam Ahmad telah mengeluarkan hadits tersebut dengan sanad (3/465);
حَدَّثَنَا يَزِيْدٌ، قَالَ : أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ عَجْلَانٌ … فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ
Telah menceritakan kepada kami Yazid, ia berkata; Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq, ia berkata; Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Ajlan,…lalu ia menyebutkan hadits dengan matan seperti di atas.
Riwayat ini menegaskan bahwa Ishaq telah mendengarkan hadits ini dari Ibnu ‘Ajlan .
§  Macam-macam Tadlis
1.      PertamaTadlis Isnad; yaitu tadlis sebagaimana yang definisi dan contohnya telah disebutkan di atas.
2.      Kedua, Tadlis Syaikh; yaitu menyebutkan guru yang diriwayatkan hadits-nya dengan identitas yang tidak masyhur baginya, baik dengan nama, julukan, nasab, atau kun-yah.Hal itu dilakukan karena kedha’ifannya atau karena kemajhulannya, dengan cara menyembunyikan di balik banyaknya guru atau dengan merahasiakan kondisi gurunya,.
Contoh; hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan (2196) dari jalan;
ابْنُ جُرَيْجِ أَخْبَرَنِي بَعْضُ بَنِي أَبِي رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَنْ عِكْرِمَةَ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: طَلَقَ عَبْدُ يَزِيْدٍ –أَبُوْ بَرْكَانَةِ وَإِخْوَتِهِ- أُمَّ رَكَانَةِ ونكح امرأة من مزينة … وذكر حديثا في طلاق الثلاثة جملة واحدة
Ibnu Juraij, telah memberitakan kepadaku sebagian dari Bani Abu Rafi’, pembantu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Ikrimah pembantu Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas, ia berkata. Abdu Yazid (Abu Barkanah dan saudara-saudaranya) mentalak Ummu Rukanah lalu ia menikahi wanita dari Muzayyanah (…) beliau menyebutkan hadits tentang talak tiga dalam sekali waktu.
Ibnu Juraij adalah Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij, dia siqah yang disebut-sebut pernah mentadliskan riwayat. Meskipun ia menyatakan telah mendengar dari gurunya, hanya saja ia telah mentadliskan namanya dengan merahasiakannya karena kondisinya, lalu ia berkata “sebagian anak Abu Rafi’ telah mengabarkan kepadaku". Para ulama berbeda pendapat tentang siapakah dia sebenarnya, tetapi di sini bukan tempat untuk memperbincangkan perbedaan ini. Pendapat yang benar, guru Ibnu Juraij pada hadits ini adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abu Rafi’, dia matruk. Al Bukhari mengatakan bahwa dia, “Munkarul hadits" Ibnu Ma’in berkata, “Tidak ada apa-apanya". Abu Hatim berkata, “haditsnya sangat munkar, dan ditinggalkan"
Ibnu Juraij telah menyebutkan nama gurunya pada riwayat Al Hakim di dalam kitab Al Mustadrak (2/491), dari Muhammad bin Ubaidillah bin Abi Rafi’, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
3.      Ketiga, Tadlis Bilad; Ini hampir serupa dengan tadlis syaikh. Bentuknya, seorangmuhaddits mengatakan, “Telah menceritakan kepadaku Al Bukhari", yang dimaksudkan dengan kata Al Bukhari adalah orang yang menguapi orang lain. Atau seperti dikatakan oleh Al Baghdadi, “telah menceritakan kepadaku apa yang ada di balik sungai" yang dimaksud adalah sungai Tigris. Atau Al Mishri mengatakan, “Ia mengajarkan hadits di Andalus" yang dimaksud dengan Andalus adalah suatu tempat di Qarafah.
4.      Keempat,Tadlis ‘Athf; yaitu seorang muhaddits mengatakan, “Fulan dan fulan mengajarkan hadits kepadaku", padahal ia hanya mendengar dari orang yang pertama, tetapi ia tidak pernah mendengar hadits dari orang yang kedua.
Contoh, Hadits yang disebutkan oleh Al Hakim di dalam ‘Ulum Al Hadits (h.131), Bahwa beberapa murid Hasyim –salah seorang rawi yang disebut-sebut telah melakukan tadlis– pada suatu hari berkumpul untuk berjanji tidak akan mengambil hadits yang ditadliskan oleh Hasyim. Kemudian Hasyim menguji mereka tentang hal itu seraya berkata dalam setiap hadits yang disebutkannya; Hushain dan Mughirah menceritakan kepada kami, dari Ibrahim. Ketika telah selesai, di katakan kepada mereka, “Apakah aku telah mentadliskan riwayat untuk kalian hari ini?" Mereka menjawab, “Tidak". Hasyim berkata, “Aku tidak mendengar dari Mughirah satu huruf pun dari apa yang aku sebutkan. Seharusnya aku mengatakan, ‘Hushain menceritakan kepadaku, sedangkan Mughirah tidak aku dengar apa-apa darinya’".
5.      Kelima, Tadlis as-Sukut. Yaitu seorang ahli hadits mengatakan haddatsana (telah mengajarkan hadits kepada kami) atau sami’tu (aku telah mendengar) lalu ia diam dengan niat untuk memotong, kemudian ia melanjutkan kata-katanya dengan menyebut nama salah seorang gurunya, misalnya nama guru itu Hisyam bin Urwah, padahal sebenarnya ia tidak menerima hadits dari Hisyam.
Contoh, hadits yang disebutkan oleh Ibnu Adi di dalam Al Kamil fi adh-Dhu’afa’. Dari Umar bin Ubaid ath-Thanafisi, bahwasannya ia berkata, “Haddatsana (menceritakan kepada kami)" kemudian ia diam dengan tujuan untuk memutus. Kemudian mengatakan, Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah ra. (dengan diamnya itu seolah-olah Umar bin Ubaid mendengar dari Hisyam bin Urwah, padahal ia tidak pernah menerima hadits darinya)
6.      Keenam, Tadlis Taswiyah. Ini adalah macam tadlis yang paling buruk. Bentuknya, seorang muhaddits menghilangkan tokoh yang bukan gurunya dari rangkaian sanad, bisa karena kedha’ifannya atau karena usianya yang sangat muda, sehingga hadits tampak diriwayatkan oleh rijal yang siqah dari rijal yang siqah pula. Macam tadlis ini adalah yang paling tercela, karena di dalamnya ada unsur khianat. Di antara rijal yang disebut telah melakukan tadlis macam ini adalah Al Walid bin Muslim dan Baqiyah bin Al Walid.
§  Hukum ‘An‘anah seorang Mudallis
Secara umum seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits secarasima’ maka riwayat itu dapat diterima.
Adapun orang yang sedikit tadlisnya, yang tidak mentadliskan kecuali dari tokoh yang siqah, maka ‘an‘anahnya ada kemungkinan berarti sima’, kecuali apabila telah jelas bahwa ia mentadliskan suatu hadits. Hal itu ditentukan setelah mengumpulkan jalan-jalan haditsnya dan menguji riwayatnya.
§  Tingkatan Mudallis
Para rawi yang disebut telah melakukan tadlis dikelompokkan ke dalam beberapa tingkatan sesuai dengan banyaknya tadlis mereka, dan kondisi hafalan mereka. Para ulama’ menggolongkan mereka kepada lima tingkatan, yaitu
1.      Orang yang tidak dikatakan tadlis kecuali jarang-jarang seperti Yahya bin Sa’id Al Anshari
2.      Orang yang tadlisnya ringan, dan haditsnya masih disebutkan di dalam kitab Ash Shahihkarena keimamannya di satu sisi dan sedikitnya tadlis mereka di sisi lain, seperti Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, Dia tidak mentadliskan kecuali dari orang yang siqah seperti Sufyan bin Uyainah.
3.      Orang yang haditsnya didiamkan oleh sejumlah ulama’, ‘an‘anah mereka tidak diterima, dan tidak cukup untuk hujjah kecuali apabila dinyatakan dengan “mendengar" dan di antara mereka ada yang diterima ‘an‘anahnya selama tidak ada petunjuk yang jelas bahwa haditsnya itu telah ditadliskan, seperti Qatadah ad-Di’amah as-Sadusi dan Abu Ishaq as-Sabi’i
  1. Orang yang disepakati oleh ahli hadits untuk tidak berhujjah dengan haditsnya yang tidak diriwayatkan dengan ungkapan sima’ karena banyak-nya tadlis mereka dari orang yang lemah dan majhul seperti Muhammad bin Ishaq bin Yassar, dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.
  2. Orang yang disebut dengan ungkapan lain, selain tadlis, yang mengandung maksud mencela dan menda’ifkannya, haditsnya tertolah meskipun diungkapkan dengan sima’, seperti Abu Junnab Al Kalbiy dan Abu Sa’id Al Biqal
§  Perbedaan antara Tadlis dan Mursal Khafi
Di sini harus diperhatikan adanya perbedaan antara tadlis dan irsal khafi, karena kemiripan antara keduanya dalam hal tidak mendengar hadits dari orang yang disebutkan sebagai orang yang telah diterima periwayatan darinya. Perbedaan itu terletak pada hukum ‘an‘anahdari orang yang disebutkan pada salah satu di antara keduanya. Maka pada bab ini sebagian Ahli Ilmu memperluasnya dan menamakan irsal khafi dengan sebutan tadlis. Yang utama, antara keduanya terdapat perbedaan.
Irsal Khafi adalah; seorang ahli hadits meriwayatkan hadits dari guru yang sezaman tetapi tidak pernah bertemu, atau bertemu tetapi ia tidak mendengar hadits darinya. Dalam meriwayatkan hadits itu ungkapannya menggambarkan bahwa ia telah mendengar secara langsung, seperti kata “dari" atau “ia berkata".
Contoh; riwayat Sulaiman bin Mahran Al A’masy, dari Anas bin Malik ra. A’masy telah bertemu dengan Anas bin Malik ra, tetapi ia tidak menerima hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik yang dia dengar dari Yazid ar-Ruqasy dan Aban bin Abi Iyyash, dari Anas
Ali bin Al Madiniy berkata; Al A’masy tidak pernah menerima hadits dari Anas, sebab ia melihat Anas ketika sedang bercelak dan ketika sedang shalat, Ia menerima riwayat dari Yazid ar-Ruqasyi dan Aban dari Anas. Maka riwayatnya dari Anas bin Malik dinamakanmursal, bukan mudallas, meskipun Al A’masy dikatakan sebagai mudallis dalam periwayatannya dari guru-gurunya yang ia dengar darinya
Contoh lainnya adalah Hasan Al Basri, ia melihat Utsman bin ‘Affan dan mendengar khutbah beliau tentang membunuh burung dara dan anjing. Hanya saja Hasan Al Basri sama sekali tidak mendengar hadits yang bersanad dari Utsman. Oleh sebab itu periwayatan Hasan Al Basri dari Utsman ra dianggap mursal, Wallahu a’lam.
Dengan demikian perbedaan antara Tadlis dan Irsal terletak pada cara sima’nya seorangmuhaddis dari gurunya, yang dia riwayatkan hadits darinya. Apabila ia meriwayatkan suatu hadits dari seorang guru yang ia dengar hadits darinya, tetapi hadits itu tidak ia dengar langsung, melainkan dengan adanya perantara, maka itu namanya tadlis. Sedangkan apabila ia meriwayatkan hadits dari seorang guru yang tidak pernah ia lihat, atau dilihatnya tetapi tidak didengar hadits darinya, maka riwayatnya itu dinamakan mursal.

§  Perbedaan antara Tadlis dan Irsal
Orang yang dikatakan tadlis, pada umumnya ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia memberikan penjelasan pada setiap riwayatnya bahwa ia telah menerima hadits secara sima’ dari seorang guru. Adapun secara khusus, telah dibicarakan dalam pembahasan tentang tingkatan mudallis. Sedangkan orang yang berpendapat, “Sesungguhnya riwayat dari seorang syaikh yang mursal –yang tidak disebut sebagai tadlis– maka ‘an‘anahnya tertolak sehingga ia menjelaskannya periwa-yatannya dengan ungkapan sima’, meskipun sesekali dapat diterima ‘an‘anahnya setelah itu.

§  Mengenal orang-orang yang disebut sebagai tadlis
Bagi yang ingin mendalami nama-nama mudallisthabaqatnya dari segi tadlis, silakan merujuk pada kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama’ tentang tadlis dan mudallis. Di antara kitab-kitab yang telah dicetak antara lain;


  1. At-Tabyin li Asma’ Al Mudallisin, karangan Burhanuddin Al Halabiy.
  2. Ta’rif Ahlu at-Taqdis bi Maratib Al Maushufin bi-at-Tadlis, karangan Al Hafidz Ibnu Hajar.
  3. Jami’ at-Tahshil fi Ahkam Al Marasil, karangan Al Hafidz Shalahuddin Al ‘Ala’i. Ia membahas di dalam kitab itu tentang tadlis dan mudallisnya.
  4. Ittikhaf Dzawi ar-Rusukh biman Rumiya bi at-Tadlis min asy-Syaikh, karangan Fadhilah asy-Syaikh Hammad bin Muhammad Al Anshari.
Kitab yang terakhir ini sangat bermanfaat, di dalam kitab ini pengarangnya menggabungkan dua kitab pertama di atas, dan memberikan penjelasan terhadap karya as-Suyuthi tentang nama-nama mudallis.
Adapun secara terperinci, pembahasan tentang ‘an‘anah seorang mudallis dan hukumnya menempati kedudukan yang berbeda-beda, saya telah menyebutkannya di dalam komentar atas Nazhatu an-Nadhr, karya al-Hafidh Ibnu Hajar. Bagi yang ingin memperdalam hendaklah merujuk ke sana.
Ta’rif Ahli at-Tadhis Bimaratib al-Muwashsahafin bi at-Tadhis, al-Hafidz Ibnu Hajar, h.23, dan ittikhaf dawi ar-Rasukh biman rumiya bi at-Tadhis min asy-Syuyukh, al-‘Allamah Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari, h.10.
Terdapat perbedaan pendapat tentang beliau, dan telah saya jelaskan di dalam al-Ajwibah al-Wafirah ‘ala al-Alsinah al-Wafidah




C.  HADIST MURSAL
A.    Pengertian hadis mursal, mursal shahabi dan mursal khafi
1.   Hadis mursal
      Hadis mursal adalah isim maf’ul dan kata kerja “أرسل” dengan arti “طلقأ” menceraikan, maka seakan-akan hadis mursal itu bercerai sanadnya dan tidak terikat pada rawi yang terkenal.
      Sedangkan menurut istilah adalah hadis yang akhir sanadnya terdapat orang yang gugur sesudah tabi’in. Mayoritas ulama hadits mendefisinikan hadis mursal dengan hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada sahabat Nabi. 
Adapun menurut pendapat dari sebuah buku yang ditulis oleh Drs.M.Solahudin,M.Ag “Ulumul Hadis” (Bandung,2009), bahwa hadis mursal adalah hadis yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in, baik tabi’in besar maupun tabi’in kecil.
      Jadi, dapat disimpulkan dari tiga pendapat diatas mengenai pengertian hadis mursal, yaitu hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh tabi’in, tanpa disandarkan terlebih dahulu kepada sahabat Nabi dikarenakan gugurnya sanad setelah tabi’in, yang dimaksud dengan gugur disini ialah tidak disebutkannya nama sanad terakhir.
      Shubhi al-Shahih dengan mengutip pendapat al-Qasimi dalam Qawa’id al-Tahdits dan al-Sakhawi dalam Fath al-Mughits, membuat tingkatan hadis-hadis mursal dari yang tertinggi sampai terendah, sebagai berikut :
a)      Hadis mursal dari sahabat yang bisa mendengar langsung.
b)      Hadis mursal dari sahabat yang hanya dapat melihat tetapi tidak bisa mendengarnya sendiri.
c)       Hadis mursal dari sahabat yang hidup pada dua masa (masa jahiliyah dan islam).
d)     Hadis mursal dari orang pandai seperti Sa’id bin al-Musayyib.
e)      Hadis mursal dari seorang yang tinggal bersama gurunya seperti al-Sya’bi dan Mujahid.
f)       Hadis mursal periwayat yang mengutip dari setiap periwayat seperti al-Hasan.
g)       Hadis mursal dari angkatan muda tabi’in seperti Qatadah al-Zuhri, dan Humayd al-Thawil yang mengutip hadis dari tabi’in.

2. Hadis mursal shahabi
      Hadis mursal shahabi yaitu pemberitaan sahabat disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., tetapi ia tidak mendengar atau menyaksikan sendiri apa yang ia beritakan, karena pada saat Rosulullah masih hidup, ia masih kecil atau terakhir masuknya kedalam agama islam. Dan yang termasuk semacam ini adalah hadis-hadis yang banyak karena masih kecilnya sahabat seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair dan yang lainnya. Hadis mursal shahabi dianggap shahih karena pada Galib-nya ia tiada meriwayatkan selain dari pada sahabat.
      Dalam buku karangan Dr.Idri,M.Ag. yang berjudul “Studi Hadis” (Jakarta,2010), dijelaskan bahwa hadis mursal shahabi ialah hadis yang disandarkan langsung oleh seorang sahabat kepada Nabi tanpa menyebut sahabat lain yang sesungguhnya pernah mendengar hadis itu darinya. Dalam hal ini, periwayat yang menggugurkan sahabat Nabi dalam sanad adalah periwayat yang berstatus sahabat juga. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis mursal merupakan hadis yang bersambung sanadnya, asalkan sanad sebelum sahabat dalam keadaan bersambung. Pendapat ini didasarkan tiga alasan, yaitu:
a)      Periwayatan yang menggunakan adalah sahabat Nabi juga, sedang sahabat Nabi bersifat adil.
b)       Tidak banyak jumlah hadis yang diterima oleh sahabat dari tabi’in sehingga tidka perlu dikhawatirkan periwayat yang digugurkan oleh sahabat tersebut adalah tabi’in dan sahabat Nabi.
c)      Sulit menghindari mursal shahabi karena kebanyakan riwayat sahabat muda tertentu.
d)     Hadis mursal khafi
3.      Hadis mursal khafi yaitu hadis yang diriwayatkan tabi’in, diaman tabi’in yang meriwayatkan hidup sezaman dengan shahabi, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadis pun darinya.
B.   Hukum hadis mursal, mursal shahabi dan mursal khafi
Pada asalnya hadis mursal itu dha’if lagi mardud (tertolak), karena hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat hadis maqbul, yaitu bersambung sanadnya. Secara global pendapat ulama mengenai hadis mursal ada tiga pendapat, yaitu :
1.      ukumnya dho’if (tertolak), ketika menurut kebanyakan ulama ahli hadis dan kebanyakan dari kalangan ahli ushul dan fiqih, dasar mereka adalah tidak diketahuinya keadaan rawi yang dibuang, karena bisa terjadi bukan sahabat.
2.       Hukumnya shahih dapat dijadikan dasar, jika yang mursal itu orang yang terpercaya dan tidak bisa mursal dari rawi yang tsiqat. Ini menurut Imam Abu hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad, dasar mereka adalah bahwa tabi’in itu tsiqat mustahil menyatakan “Telah bersabda Rosulullah kecuali bila telah mendengarnay dari orang yang tsiqat pula”.
3.      Hukumnya diterima dengan syarat, yakni syah dengan syarat-syarat, pendapat ini menurut Imam Syafi’i dan sebagian ahli ilmu. Syarat-syarat itu ada empat, tiga pada rawi yang mursal, sebagai berikut :
a)      Hendaknya mursal itu dari kalangan tabi’in besar.
b)      Apabila orang yang menanamkan itu orang yang tsiqat.
c)      Apabila bersekutu padanya orang-orang yang hafidz lagi terpercaya dimana mereka tidak menyelisihnya.
d)     Bilamana tiga syarat tersebut mengandung salah satu hal sebagai berikut :
·         Bilamana hadis tersebut diriwayatkan dari jalan lain dalam keadaan bersandar.
·         Bilamana hadis itu diriwayatkan dari jalan lain secara mursal, terputus dan mengetahuinya tanpa melewati perawi-perawi yang mursal pertama.
·         Atau bilamana sesuai dengan perkataan sahabat.
Kemudian apabila telah terwujud syarat-syarat ini, maka jelaslah keabsahan tempat keluarnya hadis mursal dan yang melawannya, dan keduanya itu sama-sama shahih, seandainya yang melawan keduanya shahih dari jalan satu maka keduanya kita kembalikan kepadanya, hal itu bilamana terhalang menggabungkan antara keduanya.
Shahih masyhur yang ditetapkan oleh jumhur ulama bahwa ia benar-benar shahih itu dapat dijadikan hujjah. Karena riwayat sahabat dan tabi’in jarang sekali terjadinya. Dan apabila mereka melihat atau mengetahui dari mereka maka mereka menjelaskannya, lalu apabila mereka tidak memperjelaskannya dan mereka berkata “Telah bersabda Rasulullah saw.”maka pada asalnya mereka telah mendengarnya dari sahabat lain, dan pembuangan sahabat itu tidak merusak, sebagaimana pembahasan terdahulu. Terdapat pendapat yang lemah sekali mengenai bahwa mursal shahabi itu seperti mursal lainnya dalam hal hukumnya.

C.   Hadis mursal menurut Fuqaha dan para Ahli Ushul
Hadis mursal termasuk hadis yang terkenal diantara Fuqaha dan para Ahli Ushul, yang tanpa disandarkan kepada sahabat Nabi. Ahli hadis Khatib al-Bagdadi mengemukakan segala yang terpotong sanadnya itu ialah hadis mursal.

D.   Contoh hadis mursal, mursal shahabi dan mursal khafi
1.   Contoh hadis mursal
a. Dalam shahih al-Bukhari
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ وَأَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَقَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ آمِينَ
Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, katanya Malik bercerita kepada kami dari Ibn Syihab dari Sa’id bin al-Musayyib dan Abu Salamah bin ‘Abd ar-Rahman keduanya menceritakan dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW.,bersabda, ‘jika imam mengucapkan amin, maka ucapkanlah amin karena sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti ucapan aminnya, yaitu amin malaikat, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu diampuni’. Dan Ibn Syihab al-Zuhri berkata, ‘Adalah Rosulullah SAW.,mengucapkan amin”.
b.      Dalam Shahih Muslim
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَمَّنَ الْإِمَامُ فَأَمِّنُوا فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ آمِينَ
                “Dari Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda,’ jika imam mengucapkan amin, amak ucapkanlah amin karena sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti ucapan aminnya, yaitu amin malaikat, niscaya dosa-dosa yang terdahulu diampuni’. Dan Ibn Syihab al-Zuhri berkata,’Adalah Rasulullah SAW. mengucapkan amin”.
Dari kedua hadis diatas yang berstatus mursal adalah hadis yang akhirannya terdapat kalimat :
 قَالَ ابْنُ شِهَابٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ آمِينَ
(Dan Ibn Syihab al-Zuhri berkata,’Adalah Rasulullah SAW., mengucapakan amin’)






D. HADIST MU’AN’AN
Definisi Hadits Mu'an'an
Pengertian dari hadits mu’an’an (مُعَنْعَن) adalah hadits yang sanadnya terdapat redaksi ‘an (dari) seseorang [Muhammad ‘Ujjaj al-Khathib, 1989, Ushul Al-Hadits Ulmuhu Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr).].


Mu’an’an adalah suatu metode meriwayatkan
 hadits dengan menggunakan kata ‘an (dari),seperti ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, ‘an fulaanin, tanpa menyebutkan kata-kata yang jelas dan meyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar, menceritakan, atau mengabarkan dari rawi sebelumnya, namun disyaratkan harus tetap dengan menyebut nama rawi-rawinya [Al-Maliki, Prof. Dr. Muhammad Alawi. 2009. Al-Manhalu Al-lathiifu fi Ushuuli Al-Haditsi Asy-Syariif : Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal. 103]. Jadi hadits mu’an’an adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menggunakan kata ‘an (عن) atau
الحَدِيْثُ المُعَنْعَنُ هُوَ الاِسْنَادُ الَّذِى فِيْهِ فُلاَنٌ عَنْ فُلاَنٍ 
Hadits Mu’an’an ialah hadits yang dalam mata rantai sanadnya ditemukan adanya kalimat Fulan dari Fulan.
Pendapat ulama ahli hadits dalam masalah ini terdapat dua fersi:
1)      Bahwa hadits yang jalurnya (sanad ) itu menggunakan redaksi ‘an (dari) termasuk dalam kategori hadits yang sanadnyamuttasil. Akan tetapi hadits mu’an’an untuk bisa dikategorikn sebagai hadits muttasil, harus memenuhi beberapa syarat. Dalam hal-hal syarat ini terdapat dua pendapat:

a.       Syarat-syarat yang ditentukan oleh Imam Bukhari, Ali bin al-Madani dan sejumlah ahli hadits lain antara lain:
1.      Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
2.      Harus terdapat hubungan guru murid, dalm artian keduanya harus pernah bertemu.
3.      Perawi bukan termasuk mudallis.
b.      Syarat-syarat yang ditentukan oleh imam muslim, antara lain:
1.      Perawi harus mempunyai sifat ‘adalah.
2.      Perawi bukan termasuk mudallis.
3.      Hubungan antara yang meriwayatkan hadits cukup dengan hidup dalam satu masa dan itu dimungkinkan untuk bertemu.
2)      Bahwa hadits mu’an-an termasuk dalam kategori hadits mursal. Oleh karena itu hadits mu’an-an tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.


Ketika redaksi ‘an itu pada tingkat sahabat, terdapat pemilahan. Apabila sahabat itu termasuk sahabat yang sebagian besar hidupnya senantiasa bersama dengan nabi, maka redaksi ‘an sama dengan redaksi sami’tu. Apabila sahabat itu jarang bertemu nabi, maka sanad itu perlu ditinjau ulang .

Kesimpulan dari uraian diatas dapat kita klasifikasikan menjadi tiga pendapat sesuai dengan komentar Ibnu Hajar:

·         Bahwa redaksi sanad dengan ‘an posisinya sama dengan redaksihaddastana dan akhbarana.
·         Tidak dikatakan sama dengan redaksi haddastana dan akhbarana.Ketika hadits itu diriwayatkan oleh mudallis.
·         Redaksi ‘an sama dengan akhbarana dalam penerimaan hadits secara ijazah.Untuk itulah hadits yang redaksinya memakai ‘an masih dalam kategori muttasil. Akan tetapi derajat ‘an masih dibawah sami’tu.
Contoh hadis mu’an’an:

حدثنا قتيبة بن سعي حدثنا عبد العزيز الدرواردى عن العلاء عن ابيه عن ابى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الد نيا سجن المؤمن وجنة الكافر {رواه مسلم}.

E. HADIST MUANNAN
Definisi Hadits Muannan
Pengertiaanya adalah hadits yang redaksi sanadnya terdapat kata anna. Ulama dalam mengomentari hadits seperti ini dapat di kalsifikasikan menjadi dua:
1.      Bahwa hadits ini sama dengan mu’an’an dari segi muttasilnya, apabila mempunyai syarat-syarat yang terdapat dalam hadits mu’an-an. Ini merupakan pendapat Imam Malik dan jumhurul hadits.
2.      Hadits muannan termasuk dalam kategori hadits munqati’ sampai terdapat kejelasan bahwa murid telah mendengar. Tokoh dari pendapat ini adalah al- Bardaji. Contoh dari hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam malik dari Ibnu Shihab أن سعيد بن مسيب قال ……
Persyaratan Mu’asharah dan Liqa’
Ulama’ ahli hadits berkomentar bahwa hadits yang dalam periwayatannya menggunakan cara seperti hadits mu’an’an dan muannan, bisa berstatus sama dengan hadits muttasil dengan adanya dua syarat, yaitu :

1)      Isytirathul Mu’asharah (اشتراط المعا صرة)

Masing-masing perawi harus hidup segenerasi dengan perawi yang menyampaikan hadits kepadanya. Maksudnya setiap tingkatan perawi harus pernah hidup dalam satu kurun waktu dengan tingkatan perawi di atasnya.

Suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari tingkat tabi’in, harus diteliti terlebih dahulu apakah beliau pernah hidup semasa dengan sahabat yang dirawikan hadits tersebut kepadanya, demikian pula perawi dari tingkat di bawahnya. Untuk itu, kita harus melihat biografi para perawi tersebut terlebih dahulu.
Sebagai contoh, misalkan Sa’id Al-Musayyab perawi dari tingkat tabi’in meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah seorang perawi dari tingkat sahabat. Setelah diteliti, Sa’id Al-Musayyab hidup pada tahun 13 H – 94 H dan adapun Abu Hurairah wafat pada tahun 57 H. Dari itu maka dapat diketahui bahwa kedua perawi tersebut pernah hidup semasa, yakni di antara tahun 13 H – 57 H.

2)      Isytirathul liqa’ (اشتراط اللقاء)

Selain para perawi pernah hidup dalam satu kurun waktu yang sama, masing-masing perawi harus benar-benar pernah bertemu dengan perawi yang menyampaikan hadist kepadanya.

Hal ini pun perlu diteliti kembali melalui riwayat hidup para perawinya, apakah masing-masing tingkatan para perawi tersebut pernah bertemu atau tidak. Jika setelah diteliti dan ternya kenyataannya bahwa tidak semua perawi itu pernah bertemu, maka menurut Imam Bukhari hadits itu dianggap cacat dan tidak dapat diterima untuk dijadikan sebagai hujjah.

Persyaratan mu’asharah dan liqa’ dalam periwayatan hadits sangat berkaitan dengan ilmu rijalul hadits, yaitu suatu cabang ilmu hadits yang mempelajari keadaan setiap perawi hadits, dari segi kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, orang yang meriwayatkan darinya, negeri dan tanah air mereka, dan yang selain dari itu yang ada hubungannya dengan sejarah perawi dan keadaan mereka.

Oleh ulama hadits, salah satu alasan mereka lebih mengutamakan keshahihan kitab Imam Bukhari dibandingkan kitab Imam Muslim ialah Imam Bukhari mensyaratkan kedua persyaratan di atas dalam menyeleksi hadits-hadits di dalam kitabnya, adapun Imam Muslim mencukupkan pada syarat mu’asharahnya saja.


Beberapa Kitab Biografi Para Perawi Hadits
Para ulama hadits telah membukukan riwayat hidup perawi-perawi mulai dari tingkat sahabat sampai para pentakhrij hadits, di antaranya:
a.        Kitab yang berkaitan khusus dengan sahabat:
·         Kitab Ma’rifat Man Nazala minash-Shahabah Sa’iral-Buldan, karya Imam Ali bin Abdillah Al-Madini (wafat tahun 234 H). Kitab ini tidak sampai kepada kita.
·         Al-Isti’ab fii Ma’rifaatil-Ashhaab, karya Abu ‘Umar bin Yusuf bin Abdillah yang masyhur dengan nama Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Qurthubi (wafat tahun 463 H). dan telah dicetak berulang kali, di dalamnya terdapat 4.225 biografi shahabat pria maupun wanita.
·         Ushuudul-Ghabah fii Ma’rifati Ash-Shahabah, karya ‘Izzuddin Bul-Hasan Ali bin Muhammad bin Al-Atsir Al-Jazari (wafat tahun 630 H), dicetak, di dalamnya terdapat.7554 biografi.
·         Al-Ishaabah fii Tamyiizi Ash-Shahaabah, karya Syaikhul-Islam Al-Imam Al-Hafidh Syihabuddin Ahmad bin Ali Al-Kinani, yang masyhur dengan nama Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H)
b.       Kitab yang disusun berdasarkan tingkat perawi, termasuk sahabat,tabi’in, dan tabi’ tabi’in:
·         Kitab Ath-Thabaqat, karya Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H). Ibnu Nadim telahmenyebutkannya dalam kitab Al-fahrasaat. Dan Muhammad bin Sa’ad, juru tulis Al-Waqidi, dalam bukunya Ath-Thabaqat Al-Kubra banyak menukil dari kitab tersebut.
·         Kitab Ath-Thabaqat Al-Kubraa, karya Muhammad bin Sa’ad (wafat tahun 230 H), dicetak dalam 14 jilid.
·         Kitab Thabaqat Al-Muhadditsiin, karya Abul-Qasim Maslamah bin Qasim Al-Andalusi (wafat tahun 353 H).







BAB III
KESIMPULAN
Pengertian Hadits Munqathi’
مَا كَانَ فِيْ إِسْناَدِهِ انْقِطَاعٌ فِيْمَا دُوْنَ الصَّحَابِيِّ
Apabila di dalam sanadnya ada inqitha’ (keterputusan) pada generasi di bawah
tingkatan shahabat
Pengertian Hadis Mudallas
أَنْ يَرْوِيَ الرَّاوِي عَنْ شَيْخِهِ الَّذِي لَقِيَهُ وَسَمِعَ مِنْهُ مَا لَمْ يَسْمَعْ مِنْهُ، بِصِيْغَةٍ تَحْتَمِلُ السِّمَاعَ كَعَنْ أَوْ قَالَ
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadits) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadits yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari" atau “ia berkata"
§  Macam-macam Tadlis
1.      PertamaTadlis Isnad;
2.      Kedua, Tadlis Syaikh;
3.      Ketiga, Tadlis Bilad;
4.      Keempat,Tadlis ‘Athf;
5.      Kelima, Tadlis as-Sukut.
6.      Keenam, Tadlis Taswiyah

§  Hukum ‘An‘anah seorang Mudallis
Secara umum seorang mudallis yang banyak tadlisnya apabila datang dengan membawa riwayat secara ‘an‘anah, dan tidak menyatakan menerima hadits dengan sima’ (mendengar) maka periwayatannya ditolak. Tetapi apabila ia menyatakankan menerima hadits secarasima’ maka riwayat itu dapat diterima.









DAFTAR PUSTAKA



No comments:

Post a Comment